Episode Tiga: Empat Tahun Kemudian

Denova berlari tergesa menuruni tangga, meloncati dua anak tangga sekaligus. Sampai di anak tangga terakhir, dia baru teringat akan hapenya yang ketinggalan di kamar. Terburu-buru dia menaiki tangga kembali ke kamarnya.

“Denova!” panggil Maminya saat Denova melintasi ruang makan.

Denova segera menghampiri Maminya, cium tangan, ucap salam, lalu bergegas keluar.

“Denova! Kamu ga sarapan?” Maminya berteriak dari ruang makan.

Denova segera kembali ke ruang makan, mengambil roti bakar yang telah disiapkan Maminya dan segera menyumpalkannya ke mulut. Denova segera berlari ke luar, melambaikan tangan ke Maminya, berpamitan.

Sesampainya di garasi, Denova segera naik ke Honda CS1-nya. Hapenya bergetar lagi, Denova segera memacu motor kesayangannya.

—=—

Rindang melipat tangannya di dada, memasang wajah cemberut saat Denova datang. “Sudah jam 7 ini Kak!”

“Iya, tahu. Udah cepat naik!” Denova menjawab tak peduli.

Rindang tidak punya pilihan lain. Disisihkan rasa jengkelnya dan segera naik ke boncengan Denova. Hatinya komat-kamit membaca doa  saat kakak kelas yang sudah setahun ini dipacarinya itu meliuk-liukkan motornya di jalanan macet Jakarta.

—=—

“Masih ngambek?” Denova bertanya pada Rindang.

Rindang pura-pura tak mendengar, sibuk menikmati mie ayamnya.

“Kan tadi aku dah bilang, aku kesiangan gara-gara nonton bola semalem. Maaf,”

“Udah aku misscall berapa kali tadi pagi?” akhirnya Rindang bersuara, menumpahkan kekesalannya. Gara-gara Denova tadi dia di hukum berdiri di depan kelas selama pelajaran sejarah.

“Hapenya silent, Manis.. Maaf ya.”

“Udah berapa kali dibilang, kalau tidur hapenya dicek, jangan disilent!” ketus Rindang.

“Iya, nanti malem dicek deh. Dah ya ngambeknya?” Denova menatap Rindang dengan wajah memelas. Rindang mengangguk, tanda berdamai.

“Makasiih.. Nanti siang aku beliin coklat deh,” janji Denova sambil mencubit hidung pipi tembem Rindang.

—=—

“Dimitri, Ben jij er klaar voor? Apakah kamu sudah siap?” seorang pria setengah baya muncul dari balik pintu.

Dimitri menoleh kepada ayahnya, tersenyum dan  menganggukkan kepala. Dimitri menarik nafas dalam-dalam. Ini memang bukan pertama kalinya dia menerima penghargaan, tapi penghargaan kali ini sungguh berbeda. Dengan menerima penghargaan dari International Society for Plant Biologists, Dimitri mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional. Selain itu dia akan mendapatkan kucuran dana segar untuk melanjutkan penelitiannya  mengembangkan jenis padi yang dapat dipanen dalam waktu dua bulan.

Dimitri masuk ke dalam mobil. Mulutnya memanjatkan doa, semoga semuanya berjalan lancar.

Ik ben zenuwachtig,” Dimitri menyuarakan kegugupannya pada ayahnya.

Rustig aan! Alles soepel zal verlopen,” Ayahnya berusaha meyakinkan Dimitri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.

—=—

Denova tak hentinya menggerutu, baru saja dia diomelin maminya karena kamarnya yang sangat berantakan. Walau dari keluarga berada, tak pernah Denova dimanja. Waktu SMP pun dia tidak diantar jemput sekolah, pulang pergi naik metromini. Papinya baru mau membelikan motor saat Denova kelas 2 SMA, sudah punya SIM. Segala urusan pribadi Denova harus diselesaikan sendiri. Mbok Yan dilarang membantu Denova membereskan kamarnya. Alhasil kamar Denova sekarang tidak ubahnya dengan kapal pecah: kertas berserakan, pakaian bertebaran, barang-barang bertaburan.

Denova mengelap keringat di keningnya, rupanya pekerjaan beres-beres ini lebih melelahkan dari yang dia kira. Dengan malas-malasan dipilahnya barang-barang yang sudah tidak dia butuhkan, barang-barang lamanya segera masuk kardus untuk disumbangkan.

Denova tertegun, dibukanya gulungan kertas itu. Diamatinya lukisan cendarawasih itu lamat-lamat.

Sekarang di mana ya Dimi? Apa dia masih sama dengan Dimi yang dulu aku kenal?

Sejak berpisah empat tahun lalu, dia tidak pernah mendengar kabar dari gadis aneh itu. Kehidupan SMAnya nyaris membuat Denova lupa akan gadis jenius itu. Denova mengulum senyum saat mengenang persahabatan singkatnya dengan Dimi.

Empat tahun. Ternyata sudah empat tahun.

Catatan penulis: Siapa Denova belum bisa terjawab gamblang di episode ini. tapi setidaknya ketahuanlah kalau Den anak orang kaya dan kini sudah kelas 3 SMA. Akhirnya saya menyimpulkan kalau Den dan Dimi pertama kali bertemu saat Den kelas 2 SMP. Ah, sampai episode tiga pun masih belum jelas inti ceritanya. Belum ketemu konflik penting, baru proses penciptaan karakter tokoh-tokohnya… Agak bingung  juga mau lanjut kalau kayak gini, tapi udah kepalang tanggung.
Iseng-iseng ga berhadiah #3: Kira-kira gimana ya caranya Den dan Dimi ketemu lagi?

13 pemikiran pada “Episode Tiga: Empat Tahun Kemudian

  1. lagi sepi kerjaan, ahirnya baca episode kelanjutannya…
    wah sudah 4 tahun saja berlalu,,
    brarti waktu itu, pas dicegat untuk jadi panitia MOS masih SMP atau SMA?
    skarang msh SMA saja tuh si Denova..

    reques,,, terjemahin dong dialognya Dimitri itu mba? hihihihi

    Mel: waktu dicegat jadi panitia MOS itu masih 2 SMP mas,, Oke.. segera saya sunting deh..

    Suka

  2. Sekilas info, atas permintaan Mas Brur, saya tambahkan arti percakapan Dimi dan ayahnya.

    Ben jij er klaar voor = Apakah kamu sudah siap?
    Ik ben zenuwachtig = Aku merasa gugup
    Rustig aan! Alles soepel zal verlopen = Tenanglah! Semua akan berjalan lancar.

    Terimakasih pada Paman Gugel translate yang sudah membuat saya terlihat pintar berbahasa Belanda.

    Suka

  3. waaah ntar pas Din sama Den ketemuan, Dim bakal kecewa karena Den udah punya pacar.. bukan begitu mel?? hahahaha.. dhe gk mau nebak2 ah biar penasaran ma cerita selanjutnya.. 😛

    Mel: semacam itulah mungkin Dhe, mel sendiri juga penasaran.. cerita yang ini alurnya bisa kemana-mana, terpengaruh mood mel waktu nulis

    Suka

  4. wah, kok tentang si Rindang nya g dikupas sedikit diawal Mel?
    Kalo menurut gua sih gimana caranya bakal ketemu lagi, hanya Tuhan yang tau. hehe
    lha, yg punya cerita belum tahu mau dibawa kemana ceritanya 😀

    Mel: Hem, soalnya dua episode pertama itu baru prolog. Rindangnya baru kepikiran di episode ini, hehehe

    Suka

Anda Komentar, Saya Senang