Opini: Kenapa harus registrasi SIM Card? 

Disclaimer: tulisan ini adalah pendapat saya pribadi, tidak mewakili kelompok masyarakat ataupun pemerintah. 

Akhir-akhir ini media sosial dan grup whatsapp yang saya ikuti heboh sekali membahas aturan baru Menteri Kominfo yang mewajibkan pengguna kartu prabayar untuk registrasi menggunakan NIK dan nomor Kartu Keluarga. Kehebohan ini semakin diramaikan dengan beredarnya berbagai informasi hoaks yang membuat suasana semakin gaduh. Saya cuma bisa geleng-geleng kepala kok ya ada orang iseng menyebarkan berita-berita bohong tersebut, atau mungkin ada orang/kelompok tertentu yang mulai gelisah akibat diterapkannya peraturan ini?

Sebenarnya kebijakan semacam ini sudah lazim diterapkan di negara-negara lain. Negara tetangga, Malaysia, sudah memulai lebih awal di bulan Juni 2017 kemarin. Saudi Arabia bahkan mewajibkan pengguna kartu prabayar untuk registrasi dengan sidik jari untuk memverifikasi identitas pengguna.

Saya pribadi bersikap netral dengan kebijakan baru ini. Sebagai warga negara yang baik, ya saya harus mematuhi kebijakan pemerintah ini. Toh kalau dipikir-pikir kebijakan ini banyak manfaatnya lho. Apabila kartu prabayar didaftarkan secara resmi begini, maka tiap nomor dapat ditelusuri siapa pemiliknya. Itu artinya para mama yang suka minta pulsa, para penyebar hoaks, para tukang hasut, para penipu, para penyebar teror,  dan orang-orang tak bertanggung jawab lainnya yang menggunakan sarana telepon-sms-wa sebagai modus operandi akan terbatasi ruang geraknya. Bukankah dunia milenial ini akan lebih aman tanpa kehadiran mereka?

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa ada juga efek negatif yang harus kita rasakan dari kebijakan ini. Saya pribadi adalah orang yang suka memanfatkan paket kartu perdana untuk mendapatkan kuota internet murah meriah. Dengan diberlakukannya Permenkominfo nomor 21 tahun 2017 ini, tiap orang dibatasi memiliki nomor kartu perbayar maksimal 3 nomor. Jika seseorang ingin mememiliki lebih dari 3 nomor, dia harus melakukan registrasi di gerai resmi. Ga mungkin kan saya tiap bulan silaturahmi ke gerai penyedia jasa telekomunikasi hanya untuk registrasi nomor prabayar yang hanya akan digunakan sebulan ke depan? Saya harap para penyedia jasa telekomunikasi tidak memanfaatkan momen ini untuk lebih jual mahal kepada para pelanggannya karena tentu saja nantinya pelanggan-pelanggan tersebut akan lebih sulit untuk pindah ke lain hati.

Nah, sekarang coba kita diskusikan pertanyaan-pertanyaan yang banyak beredar di masyarakat. 

kenapa harus dengan nomor KK? Kenapa tidak cukup dengan NIK saja? 

Saya tidak terlibat dalam penyusunan peraturannya, jadi saya tidak tahu pasti alasannya. Tapi jika dinalar, tebakan saya adalah pemerintah memerlukan data pembanding untuk memastikan bahwa orang yang mendaftar benar-benar sang pemilik NIK. Bisa saja kan ada orang yang iseng mendaftarkan sembarang nomor NIK. Hal ini tentu dapat merugikan sang pemilik NIK sesungguhnya di kemudian hari.

Dengan diwajibkannya pengguna untuk mendaftarkan NIK dan nomor KK, pemerintah dapat memverifikasi kesesuaiannya. Bila NIK dan nomor KK tidak cocok maka pengguna harus memperbaiki datanya terlebih dahulu di dinas dukcapil, tentu dengan membawa dokumen-dokumen kependudukannya. Nah, orang yang input NIK secara random tentu tidak bisa melakukan ini. 

Kalau hanya crosscheck kenapa tidak menggunakan NIK dan nama saja? Di Kartu keluarga kan banyak informasi pribadi, kalau disalahgunakan bagaimana? 

Kalau menggunakan NIK dan nama, risiko disalahgunakan masih besar. Kedua informasi tersebut tercantum dalam KTP kita, yang sering kita bawa dalam dompet. Keluar masuk dompet untuk ditunjukkan saat check in di bandara, stasiun, hotel, atau sebagai jaminan saat masuk ke gedung-gedung pencakar langit. Risiko hilangnya besar, lebih besar daripada Kartu Keluarga. Kartu keluarga lebih jarang kita bawa, dan kalaupun dibawa biasanya kita akan lebih hati-hati menyimpannya. 

Masalah kekhawatiran disalahgunakannya data memanglah suatu hal yang wajar, tapi mari kita coba pikirkan lagi kemungkinan-kemungkinannya. 

  1. Provider telepon seluler sebenarnya sudah punya sebagian data kita. Salah satu kawan saya gagal melakukan registrasi karena NIK dan nomor KKnya tidak cocok, setelah ditelusuri ternyata NIK di kartu keluarganya memang belum terbarukan. Bukankah itu artinya sang provider sudah punya akses ke database kependudukan? 
  2. Kementerian kominfo sudah menjamin keamanan data-data pribadi masyarakat yang melakukan registrasi kartu prabayar. Yang dibutuhkan dalam proses kartu prabayar adalah NIK dan nomor KK, jadi yang diperlukan provider hanya hak akses terhadap 2 data tersebut. Yaa, mungkin ditambahkan data nama lengkap, alamat, dan tanggal lahir. Saya kira Kementerian kominfo tidak akan memberi hak akses nama orang tua, nama anggota keluarga, dan data-data pribadi lainnya jika tidak perlu. 
  3. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya data pribadi kita itu sudah banyak tersebar dimana-mana lho. Saat daftar akun di media sosial, saat belanja online, saat pesan tiket pesawat/kereta, saat ikut undian-undian ga jelas di supermarket, saat mengajukan kredit di bank, saat daftar kerja di kantor-kantor pemerintah ataupun swasta, dsb. Yang penting adalah jangan sampai kita membagi informasi-informasi rahasia seperti segala macam password, pin, dan nomor kartu debit/kredit kepada orang lain.

Kalau databasenya dihack bagaimana? Kalau data saya disalahgunakan bagaimana?

Ya resiko tersebut memang masih ada. Tapi saya rasa hal itu sudah dipikirkan baik-baik oleh pemerintah, dhi Kementerian Kominfo selaku pembuat kebijakan, dan pastinya sudah dipikirkan langkah-langkah untuk memitigasinya. Kita hanya bisa terus berprasangka baik, pasrah, sembari banyak berdoa. Kalau dipikirkan terus negatifnya ga ada abisnya, Rek.
Sekali lagi tulisan ini hanya pendapat saya pribadi ya. Kolom komentar masih saya tutup karena masih belum siap menanggung beban mental “harus” menjawab komentar dan balas berkunjung. Kalau ada yang mau didiskusikan feel free untuk kontak saya lewat email: amela.erliana@gmail.com.

Sekian dan terima kasih.