Mengingatmu. Aku akan selalu mengingatmu

Tik..tik..tik.. Hujan bernyanyi merdu, menyapa syahdu tunas-tunas pohon yang merunduk malu. Angin lembah meniup-niup tirai jendela. Aku terbangun, kaget saat setetes air memerciki wajahku. Kudongakkan kepala, memandang langit-langit, terlihat jejak bisu hujan di sana, sepertinya ada yang bocor di atas sana.

Kugeser kursiku, menghindari tetesan hujan yang menerobos celah langit-langit. Kudongakkan lagi kepalaku, menimbang-nimbang. Akhirnya kuputuskan membiarkan saja percik-percik air itu, toh bocornya tidak terlalu besar, nanti kering sendiri.

Aku menguap, kantuk masih enggan meninggalkanku. Kubuka lagi buku di genggamanku, membolak-balik halamannya tak sabaran. Ah, aku sudah tidak tertarik lagi melanjutkan, akhir ceritanya sudah dapat kutebak. Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan menuju rak di depanku lalu menyelipkan buku yang kupegang di sela kawan-kawannya.

Jari-jariku menelusuri buku-buku tebal yang tersusun rapi di rak, membaca judulnya sambil lalu. Semua buku ini sudah habis kubaca, tapi entah kenapa tak dapat kuingat jalan ceritanya.

Aku menatap ke balik jendela, hujan perlahan merintik, tidak sederas tadi. Pandanganku beralih menelusupi ruangan tempatku sekarang. Di masing-masing sisi berdiri kokoh rak kayu penuh berisi buku, semuanya milikku, semuanya favoritku. Ruang baca ini adalah jiwaku, tempatku bersembunyi dari kehidupan, tempatku merenung dan menghabiskan waktu.

Aku berjalan pelan ke sudut ruangan, ke sebuah meja kecil dari kayu jati. Dengan penuh sayang aku membelai permukaannya, hasil pliturannya sempurna. Di meja inilah tersimpan yang paling berharga, yang paling tinggi nilainya di antara yang lain. Pelan kubuka laci meja di depanku: Kosong.

Aku menatap tak percaya, kenapa kosong? Seingatku di sinilah aku menyimpan semuanya, semua yang paling berharga, semua yang paling tinggi nilainya. Kemana perginya? Kalap aku membuka laci-laci lainnya, semuanya kosong. Hanya laci paling bawah yang ada isinya, sebuah pigura kosong, tidak ada gambar ataupun foto sama sekali.

Aku termenung. Kenapa kosong? Seingatku di sinilah aku menyimpan semuanya.

***

“Aku bawa puding roti kesukaanmu, aku suapin ya?” lelaki itu membujukku.

Aku menatapnya sinis, lalu kembali pada bacaanku. Ini sudah hari kesepuluh lelaki yang tak kukenal itu menjenguk. Entah apa urusannya hingga dia begitu perhatian padaku.

“Kamu masih kenyang ya? Kalau gitu aku taruh pudingnya di sini aja. Mungkin kamu mau jalan-jalan? Kata suster kamu butuh udara segar.”

Aku menutup buku bacaanku secara serampangan, menatap berang pada lelaki di depanku. Siapa sih sebenarnya dia? Apa urusannya denganku?

“Sudah kubilang! Aku ga kenal kamu, aku ga ada urusan dengan kamu! Apapun maksud semua perhatianmu ini, aku ga butuh semua itu!” aku membentak.

Cahaya di mata lelaki itu meredup, menatapku sendu. “Ya udah kalau gitu. Aku pulang dulu. Pudingnya jangan lupa dimakan.”

Lelaki itu pergi. Kutatap puding roti yang tergeletak di meja. Darimana dia tahu aku suka puding roti sementara aku sama sekali tak mengenalnya? Siapa dia sebenarnya?

***

Berulangkali aku memeriksa isi laci meja jati tersebut, masih kosong. Tidak ada buku-buku, pigura itupun masih kosong. Kenapa kosong? Seingatku laci ini penuh berisi semua kenangan berhargaku. Air mata menerobos kelopak mataku, entah kenapa rasanya begitu sedih kehilangan barang-barang berhargaku, walaupun aku tak dapat mengingatnya apa.

Senyap terusik suara ketukan di pintu. Tok..tok..tok.. Merdu beradu rintik hujan di luar.

“Ya?” lirih aku bersuara, menyampaikan keberadaanku di ruangan ini.

“Sudah waktunya kita pergi Rubi.” orang dibalik pintu menjawab.

“Tidak bisakah menunggu lebih lama? Aku masih mencari sesuatu,” aku memelas.

***

Lelaki tak dikenal itu datang lagi, padahal sudah kubilang pada suster bila dia datang suruh saja pulang.

“Bagaimana kabarmu hari ini Rubi?” sapa lelaki itu.

Aku tak menyahut, pura-pura sibuk dengan buku di tanganku. Walapun kenyataannya aku tidak mampu membaca buku itu, tulisannya terlampau kecil, dan aku tidak menemukan kacamataku.

Lelaki itu tersenyum, “Jane Eyre, ah dari dulu kamu tidak pernah bosan membaca cerita itu.”

Darimana dia tahu?

“Sini aku bacakan,” lelaki itu tersenyum lembut.

Aku melunak, kuserahkan buku itu kepadanya. Dengan lembut dia mengisahkan kehidupan Jane Eyre, aku memejamkan mata, membayangkan dirikulah sang Jane Eyre sendiri.

***

“Rubi, sudah tidak ada waktu lagi. Kita harus pergi sekarang.” suara di balik pintu mengingatkan.

“Tapi, tapi aku tidak dapat menemukannya dimana-mana.” jawabku di kelilingi tumpukan buku.

Dengan tergesa aku memeriksa buku-buku itu satu-persatu. Aku sudah tidak peduli lagi dengan buku-buku yang hilang dari laci, yang paling penting adalah foto itu. Ya, foto yang seharusnya tersenyum didalam pigura kosong itu. Kemana perginya? Aku memeriksa buku-buku itu satu-persatu, berharap foto itu terselip di salah satunya.

“Rubi, kita harus pergi sekarang.”

Aku menunduk frustasi, air mata membanjiri pipiku. Kemana foto itu? Kemana? Aku tidak bisa pergi tanpanya. Aku butuh foto itu untuk tetap mengingat orang yang paling kucinta.

***

Lelaki itu datang lagi, aku sudah berhenti menolak kehadirannya. Malah aku selalu menunggu sore tiba, saat suara lembut itu mendongengkan kisah kesukaanku. Saat lelaki itu duduk membaca di sampingku, sementara pikiranku mengelana jauh ke benua seberang, membayangkan diriku menjadi Jane Eyre.

“Kamu ngantuk? Haruskah aku berhenti?” lelaki itu memotong cerita, malah menanyakan hal tidak penting padaku.

“Tidak. Lanjutkan saja. Aku harus mendengarnya sampai selesai, waktuku sudah tidak banyak lagi,” jawabku masih dengan mata terpejam.

Lelaki itu melanjutkan, tapi entah kenapa kali ini suaranya terbata, tersendat di kalimat-kalimat panjang. Aku menatapnya tak mengerti, matanya sembab dan air matanya terus mengalir padahal ceritanya belum sampai ke bagian yang sedih. Tak peduli aku kembali memejamkan mata, berkhayal. Walau sudah hafal luar kepala, tapi aku ingin mendengarkan cerita ini untuk terakhir kalinya.

***

Ketukan di pintu makin sering terdengar, waktuku memang sudah tidak banyak lagi. Dengan frustasi aku memeriksa buku-buku itu, satu-persatu, membalikkan halamannya dengan kasar, tak peduli saat beberapa di antaranya tak sengaja robek.

Aku harus menemukan foto itu. Harus!

“Rubi, kalau kamu masih tak mau keluar. Aku akan memaksamu keluar!” suara itu mulai membentak.

Aku menoleh ke arah pintu, masih terkunci. Butuh beberapa menit baginya untuk mendobrak pintu itu. Aku masih punya sedikit waktu. Ya, benar-benar sedikit.

Pintu itu berdentum, tanda sedang dibuka paksa dari luar. Jantungku berpacu dengan waktu, memanjatkan doa agar foto itu segera kutemukan. Aku berlari ke rak terakhir, menghamburkan semua buku-buku yang rapi tertata didalamnya. Kuperiksa sambil lalu buku-buku itu. Waktuku tak banyak. Waktuku tak banyak.

Dentuman keras terdengar dari arah pintu, bertepatan saat aku menarik buku tebal kado ulang tahun kesepuluhku dari Bapak. Jane Eyre. Salah satu yang favorit. Kurasakan langkah-langkah mendekat, tak peduli kulanjutkan memeriksa halaman demi halamannya.

Seseorang merenggut lenganku dari belakang, aku tak melawan. Foto itu telah kutemukan, tepat di halaman yang mengisahkan pernikahan Jane dengan Mr. Rochester. Bagian favoritku.

***

Lelaki itu muncul dari balik pintu, dengan senyumnya yang hangat seperti biasa. Kali ini aku membalas senyumnya, tak kalah tulus. Terpukau lelaki itu menatapku tak percaya, matanya berkaca-kaca.

“Akhirnya kamu datang juga Dimas. Aku sudah tidak sabar mendengarkan lanjutan ceritanya,” aku mengerling pada buku yang tergolek di meja.

Dimas meraih buku itu, menatapku tak percaya, “Kamu ingat aku?”

“Iya. Maaf jika aku sempat melupakanmu. Percayalah, aku ga pernah bermaksud begitu. Pasti beberapa hari terakhir ini aku sudah bersikap jahat ke kamu. Maaf.”

“Ga masalah Ru, Ga masalah. Yang penting kamu ingat aku.”

Dimas melanjutkan membaca, hari ini telah sampai ke bagian favoritku: hari pernikahan Jane dengan Mr. Rochester. Aku memejamkan mata, membayangkan aku sebagai Jane dan Dimas sebagai Mr. Rochester.

***

“Sudah siap untuk pergi?”

Aku mengangguk. Foto itu telah kutemukan, kini aku akan terus mengingat Dimas sebagai lelaki yang paling kucintai.

Dengan mantap aku melangkah keluar, kugenggam erat foto Dimas. Jangan sampai hilang lagi.

***

Kututup buku Jane Eyre kesukaannya. Aku telah selesai membacakannya. Kutatap Rubi, istriku, matanya terpejam tapi bibirnya melengkungkan senyum, senyum yang selama ini berhasil mengikatku di sisinya.

Hari ini adalah salah satu yang terindah, Rubi berhasil mengingatku lagi. Penyakit alzheimer yang dideritanya sempat memisahkan kami, membuatnya melupakanku dan segala kenangan indah kami. Itulah mengapa beberapa hari terakhir ini aku seolah asing baginya.

Kutatap istriku dengan penuh sayang, wanita yang paling kucintai, setelah ibuku.

“Rubi, aku sudah selesai,” dengan lembut aku mengucap.

Rubi tak menyahut, matanya masih terpejam. Aku tersenyum, kurasa dia tertidur. Dengan lembut kubelai rambutnya yang menipis, hati-hati tak ingin membangunkannya. Kugenggam tangannya hendak berpamitan. Dingin.

Panik aku mengguncang tubuhnya, “Rubi. Rubi! Bangun Rubi!”

Tak ada jawaban, tak ada gerakan, tak ada tanda kehidupan. Aku meraih Rubi ke pelukanku, menangis sejadi-jadinya.

sumber gambar: google

25 pemikiran pada “Mengingatmu. Aku akan selalu mengingatmu

  1. tik tik tik bunyi hujan diatas genteng … perasan liriknya gitu ahh
    kok diganti sih … hihihi (belum baca komen dikit … πŸ˜›

    Mel: ya suka2 yang nulis dong πŸ˜›

    Suka

  2. mengingat yang dicintai adalah sesuatu yg indah, walaupun tak bersamanya, namun kenangan indah mampu hadirkan keceriaan..

    Mel: iya.. kenangan indah itu selalu berhasil membakar semangat.:D

    Suka

    • saran aja mbak.. kalo deskripsi simptomp alzheimernya diperbanyak pasti lebih bagus deh cerpennya.. lebih detail gitu πŸ˜€

      Mel: Niatnya sih begitu ham,.. tapi nanti jadinya cerbung lagi.. ini udah panjang banget.. -.-a

      Suka

  3. alzheimer penyakit apa mel?? jelasin dong..

    Mel: kutip dari bung Wikipedia:

    merupakan sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan,[1] sehingga otak tampak mengerut dan mengecil.Alzheimer berat ditandai dengan kehilangan daya ingat yang progresif sampai mengganggu aktivitas sehari-hari, disorientasi tempat, orang dan waktu, serta mengalami masalah dalam perawatan diri.

    Suka

    • sereeeeemm ah.. berarti masih sodaranya amnesia yaa?? hehe πŸ˜›

      Mel: hem.. sodara jauh mungkin.. tapi lupanya alzheimer bertahap biasanya., ada pak/bu dokter yang bisa jawab?

      Suka

      • diikuti rasa takut penuh kecemasan berkepanjangan?
        btw saya pernah lihat penderita demikian – rongga otaknya besar sebelah (hasil rontgen enchepall..) – setelah dirawat dokter (prof. neurolog) bisa normal kembali πŸ˜€

        Mel: jadinya sembuh total mas?

        Suka

  4. cakep Mel…..klimaksnya ‘unpredictable’…..awalnya sy fikir Dimas itu adlh lelaki baru yg akan mengisi hari2nya Rubi kedepan…..ternyata….eh ternyata ‘belahan jiwa’-nya Rubi…..:-)

    Mel: Makasih mas πŸ˜€

    Suka

  5. ceritanya bagus,, bikinn nangiss di kantor pas baca,, πŸ˜₯

    Mel: Makasiih πŸ˜€ *sodorin tisu*

    Suka

  6. hiks,,,,kok gitu sih ….pas inget sama Dimas, pas rubi nya pergi utk selamanya … hiks 😦
    sedih banget sih Mel …. 😦
    salam

    Mel: iya bund. sedih πŸ˜₯

    Suka

  7. Ping balik: Ditemani Kenangan Indah | coretan sayyidahqurani
  8. Ping balik: CINTA TEMPO DULU | coretan sayyidahqurani
  9. Ping balik: Ditemani Kenangan Indah | ummulnurien.com
  10. Ping balik: CINTA TEMPO DULU | KARENA KAU BEGITU BERHARGA

Anda Komentar, Saya Senang