Fiksimini: Broken

Ada yang berderak patah di dadaku ketika kulihat kau bergandengan tangan dengannya.

Kau menyimpan tangan mungilnya dalam genggaman tanganmu. Tangan yang kokoh dengan buku-buku jari yang sedikit kasar. Kokoh dan hangat. Aku masih ingat persis hangatnya genggaman tanganmu. Dan juga wangi tubuhmu saat aku sedikit menyondongkan kepalaku ke bahumu. 

Sebenarnya kabar bahwa kau telah menikah bukan berita baru bagiku. Telah kudengar kabar itu dari teman-temanku, yang sebagian besar juga adalah teman-temanmu. Telah kuintip foto-foto pernikahanmu itu melalui akun media sosialmu. Kupikir aku telah berhasil move on darimu karena nyatanya tak ada air mata yang kutumpahkan untukmu. 

Kukira aku baik-baik saja. Toh dulu akulah yang memilih untuk menolak lamaranmu. Aku jugalah yang memutuskan untuk meninggalkanmu karena tak sanggup melihat kesedihan yang bersembunyi di matamu tiap kali bertemu. Seharusnya, aku tak perlu bersedih karena kau pun akhirnya menikah, dengan wanita yang bukan aku. Seharusnya aku tak perlu cemburu ketika kau menggenggam tangan wanita lain. Wanita yang kini telah menjadi istrimu. 

Kau menuntunnya masuk ke dalam restoran di sudut jalan pattimura. Restoran tempat dulu sering  kita habiskan malam minggu kita. Mungkin kau juga akan mengajaknya duduk di meja favorit kita, di sisi sebelah barat restoran, tempat kita mengamati matahari terbenam dari balik jendela. Tempat aku biasa duduk menghabiskan segelas cappucino saat aku merindukanmu dan ingin mengenang kebersamaan kita.

Ya, nyatanya aku masih sering curi-curi merindukanmu. Berulang kali aku memencet nomor teleponmu namun tak pernah berhasil mengumpulkan keberanian untuk memencet tombol panggil. 

Diam-diam kuselipkan doa agar kita dapat kembali bersama. Agar kau kembali meminangku, atau mungkin aku yang akan to the point memintamu untuk menikah denganku.Bahkan lima tahun terakhir aku terus berusaha memperbaiki diri. Aku  telah mewujudkan sebagian besar mimpi-mimpiku sehingga tak ada lagi alasan bagiku untuk menunda menikah. Aku ikut kursus menjahit, belajar memasak, dan membaca banyak buku rumah tangga. Aku harap jika saat itu tiba aku telah benar-benar siap sehingga tak perlu lagi muncul kecanggungan di antara kita. 

Sayang, Tuhan tak mengabulkan doaku. Dia memilihkan wanita lain sebagai jodohmu. 

Tidak, aku tak menyalahkanmu. Memang tak ada perjanjian di antara kita bahwa di suatu waktu saat kita bertemu lagi kita akan membangun kembali hubungan yang lima tahun lalu telah kurobohkan. Tentu saja aku tak berhak memintamu untuk menungguku. 

Aku menyalakan kembali mesjn mobilku. Sebenarnya aku ingin menikmati terbenamnya mentari dari meja favorit kita karena aku sedang rindu padamu, tapi kuputuskan untuk membatalkan rencanaku itu.

Jika melihatmu dari kejauhan saja mampu membuat hatiku berderak patah, apa jadinya jika aku bertemu denganmu? 

Fiksi: Insecure

“Ke arah Serpong ya, Pak” ujarmu memberi instruksi kepada supir begitu kau duduk di kursi penumpang sebuah taksi biru berlogo burung.

Sang supir menyalakan mesin dan mengatur suhu pendingin udara. “Mau lewat tol, bu?” 

“Iya, Pak. Lewat tol lingkar luar saja, nanti keluar di gerbang tol Alam Sutera.” Kau mengaduk-aduk tasmu,  mencari kartu uang elektronik yang baru kau isi ulang di minimarket beberapa saat lalu. Rupanya kartu itu terselip di antara berkas kerja yang kau bawa pulang. 

“Nanti bayar tolnya pakai ini saja, Pak” tanganmu terulur pada sang supir taksi. Ia menerima kartu tersebut tangan kiri, tangan kanannya sibuk mengendalikan setir. Sepintas kaulihat senyumnya dari spion tengah.

Sepertinya supir taksi yang ini tak begitu suka bercakap-cakap. Syukurlah. Kau sedang lelah berbasa-basi. Namun untuk berjaga-jaga, kau memasang earphone di telingamu. Sebenarnya kau tak sedang memutar musik, kau hanya ingin menyendiri.

Kau menyandarkan kepala ke jendela mobil. Memandang ke jalanan yang penuh sesak dengan orang-orang yang kelelahan. Kau sendiri juga lelah. Seharian ini, tiga rapat telah kau hadiri, dan ketiganya menyita energimu. 

Kau memejamkan mata, mencoba tidur, tapi bayangan saat rapat tadi berkelebat mengganggu alam pikirmu. Mungkin tadi kau terlalu keras mengkritisi proposal rekan-rekanmu. Mungkin seharusnya kau menyimpan saja pendapatmu dan menyampaikannya di kesempatan yang lebih baik. Mungkin tanpa sengaja kau telah mempermalukan rekan-rekanmu itu di depan para petinggi perusahaan. Mungkin sebenarnya mereka semua muak dengan racauanmu tentang integritas dan profesionalisme. Mungkin mereka saat ini sedang tertawa-tawa menggosipkanmu yang sok tahu dan idealis. 

Kau bayangkan mereka memakimu dan mengharapkan sesuatu yang buruk menimpamu sehingga tak ada lagi orang yang akan memprotes usulan mereka. Tak ada ydang menyukai seseorang yang terlalu jujur. 

Mungkin mereka sedang berdoa agar kau lenyap saja. Kau sendiri ingin lenyap. Hilang. Seperti buih minuman bersoda ketika tutupnya dibuka. Menguap bersama udara. Tanpa bekas.

Kau bayangkan kau suruh supir taksi itu mengantarkanmu ke tempat antag berantah. Tempat tak ada orang yang akan mengenalimu, tak ada orang yang tahu siapa engkau ketika kau tiba di tempat itu. Kau bisa menjadi gelandangan yang hidup dari memungut sampah. Kau bisa pura-pura bisu dan tuli sehingga tak ada seorangpun yang akan mengajakmu berbincang. Kau bisa pura-pura gila sehingga orang-orang di sekitarmu memandangmu dengan pemakluman, bukan penghakiman. 

Kau ingin pergi. Lenyap. Hilang. Tak berbekas. 

Tidak, kau tidak ingin mati. Kau belum siap untuk mati karena kau tahu kau akan masuk neraka. Kau hanya ingin menghilang. Lenyap. Kau ingin me-restart hidupmu. Menjadi seseorang yang tidak dihiraukan siapapun, sehingga kau pun tak perlu menghiraukan siapapun. Kau hanya ingin kabur dari hidupmu yang sekarang, sehingga besok kau tak perlu menghadapi rekan-rekan kerjamu yang akan menghakimi segala apa yang kaukatakan, kaulakukan.

Tidak akan ada yang merasa kehilangan ketika kau pergi. Suami dan anak-anakmu telah terbiasa tanpa kehadiranmu. Orang tua dan saudara-saudaramu sibuk dengan kehidupan mereka sendiri, entah kapan terakhir kali kau bicara dengan mereka. Terlebih lagi rekan-rekanmu, rasanya mereka justru akan bersorak kalau kau menghilang. 

Lebih baik kau pergi. Hilang. Lenyap. Enyah

Just close your eyes, the sun is going down. You’ll be alright, no one can hurt you now (taylor swift – safe and sound) 

Kau sentuh layar ponselmu, menerima panggilan.

“Bunda sudah sampai mana?” 

“Sebentar lagi sampai, Sayang.” 

“Bunda ga lupa titipan Kakak kan?” 

“Ngga dong.” 

“Oke. Hati-hati di jalan ya Bunda. Byeee.. ”

“Bye” 

Kau meremas kantong plastik yang kau pegang. Kau tidak bisa kabur malam ini. Kau harus mengantarkan pensil warna yang kau beli di minimarket tadi kepada putri sulungmu. 

Opini: Kenapa harus registrasi SIM Card? 

Disclaimer: tulisan ini adalah pendapat saya pribadi, tidak mewakili kelompok masyarakat ataupun pemerintah. 

Akhir-akhir ini media sosial dan grup whatsapp yang saya ikuti heboh sekali membahas aturan baru Menteri Kominfo yang mewajibkan pengguna kartu prabayar untuk registrasi menggunakan NIK dan nomor Kartu Keluarga. Kehebohan ini semakin diramaikan dengan beredarnya berbagai informasi hoaks yang membuat suasana semakin gaduh. Saya cuma bisa geleng-geleng kepala kok ya ada orang iseng menyebarkan berita-berita bohong tersebut, atau mungkin ada orang/kelompok tertentu yang mulai gelisah akibat diterapkannya peraturan ini?

Sebenarnya kebijakan semacam ini sudah lazim diterapkan di negara-negara lain. Negara tetangga, Malaysia, sudah memulai lebih awal di bulan Juni 2017 kemarin. Saudi Arabia bahkan mewajibkan pengguna kartu prabayar untuk registrasi dengan sidik jari untuk memverifikasi identitas pengguna.

Saya pribadi bersikap netral dengan kebijakan baru ini. Sebagai warga negara yang baik, ya saya harus mematuhi kebijakan pemerintah ini. Toh kalau dipikir-pikir kebijakan ini banyak manfaatnya lho. Apabila kartu prabayar didaftarkan secara resmi begini, maka tiap nomor dapat ditelusuri siapa pemiliknya. Itu artinya para mama yang suka minta pulsa, para penyebar hoaks, para tukang hasut, para penipu, para penyebar teror,  dan orang-orang tak bertanggung jawab lainnya yang menggunakan sarana telepon-sms-wa sebagai modus operandi akan terbatasi ruang geraknya. Bukankah dunia milenial ini akan lebih aman tanpa kehadiran mereka?

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri bahwa ada juga efek negatif yang harus kita rasakan dari kebijakan ini. Saya pribadi adalah orang yang suka memanfatkan paket kartu perdana untuk mendapatkan kuota internet murah meriah. Dengan diberlakukannya Permenkominfo nomor 21 tahun 2017 ini, tiap orang dibatasi memiliki nomor kartu perbayar maksimal 3 nomor. Jika seseorang ingin mememiliki lebih dari 3 nomor, dia harus melakukan registrasi di gerai resmi. Ga mungkin kan saya tiap bulan silaturahmi ke gerai penyedia jasa telekomunikasi hanya untuk registrasi nomor prabayar yang hanya akan digunakan sebulan ke depan? Saya harap para penyedia jasa telekomunikasi tidak memanfaatkan momen ini untuk lebih jual mahal kepada para pelanggannya karena tentu saja nantinya pelanggan-pelanggan tersebut akan lebih sulit untuk pindah ke lain hati.

Nah, sekarang coba kita diskusikan pertanyaan-pertanyaan yang banyak beredar di masyarakat. 

kenapa harus dengan nomor KK? Kenapa tidak cukup dengan NIK saja? 

Saya tidak terlibat dalam penyusunan peraturannya, jadi saya tidak tahu pasti alasannya. Tapi jika dinalar, tebakan saya adalah pemerintah memerlukan data pembanding untuk memastikan bahwa orang yang mendaftar benar-benar sang pemilik NIK. Bisa saja kan ada orang yang iseng mendaftarkan sembarang nomor NIK. Hal ini tentu dapat merugikan sang pemilik NIK sesungguhnya di kemudian hari.

Dengan diwajibkannya pengguna untuk mendaftarkan NIK dan nomor KK, pemerintah dapat memverifikasi kesesuaiannya. Bila NIK dan nomor KK tidak cocok maka pengguna harus memperbaiki datanya terlebih dahulu di dinas dukcapil, tentu dengan membawa dokumen-dokumen kependudukannya. Nah, orang yang input NIK secara random tentu tidak bisa melakukan ini. 

Kalau hanya crosscheck kenapa tidak menggunakan NIK dan nama saja? Di Kartu keluarga kan banyak informasi pribadi, kalau disalahgunakan bagaimana? 

Kalau menggunakan NIK dan nama, risiko disalahgunakan masih besar. Kedua informasi tersebut tercantum dalam KTP kita, yang sering kita bawa dalam dompet. Keluar masuk dompet untuk ditunjukkan saat check in di bandara, stasiun, hotel, atau sebagai jaminan saat masuk ke gedung-gedung pencakar langit. Risiko hilangnya besar, lebih besar daripada Kartu Keluarga. Kartu keluarga lebih jarang kita bawa, dan kalaupun dibawa biasanya kita akan lebih hati-hati menyimpannya. 

Masalah kekhawatiran disalahgunakannya data memanglah suatu hal yang wajar, tapi mari kita coba pikirkan lagi kemungkinan-kemungkinannya. 

  1. Provider telepon seluler sebenarnya sudah punya sebagian data kita. Salah satu kawan saya gagal melakukan registrasi karena NIK dan nomor KKnya tidak cocok, setelah ditelusuri ternyata NIK di kartu keluarganya memang belum terbarukan. Bukankah itu artinya sang provider sudah punya akses ke database kependudukan? 
  2. Kementerian kominfo sudah menjamin keamanan data-data pribadi masyarakat yang melakukan registrasi kartu prabayar. Yang dibutuhkan dalam proses kartu prabayar adalah NIK dan nomor KK, jadi yang diperlukan provider hanya hak akses terhadap 2 data tersebut. Yaa, mungkin ditambahkan data nama lengkap, alamat, dan tanggal lahir. Saya kira Kementerian kominfo tidak akan memberi hak akses nama orang tua, nama anggota keluarga, dan data-data pribadi lainnya jika tidak perlu. 
  3. Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya data pribadi kita itu sudah banyak tersebar dimana-mana lho. Saat daftar akun di media sosial, saat belanja online, saat pesan tiket pesawat/kereta, saat ikut undian-undian ga jelas di supermarket, saat mengajukan kredit di bank, saat daftar kerja di kantor-kantor pemerintah ataupun swasta, dsb. Yang penting adalah jangan sampai kita membagi informasi-informasi rahasia seperti segala macam password, pin, dan nomor kartu debit/kredit kepada orang lain.

Kalau databasenya dihack bagaimana? Kalau data saya disalahgunakan bagaimana?

Ya resiko tersebut memang masih ada. Tapi saya rasa hal itu sudah dipikirkan baik-baik oleh pemerintah, dhi Kementerian Kominfo selaku pembuat kebijakan, dan pastinya sudah dipikirkan langkah-langkah untuk memitigasinya. Kita hanya bisa terus berprasangka baik, pasrah, sembari banyak berdoa. Kalau dipikirkan terus negatifnya ga ada abisnya, Rek.
Sekali lagi tulisan ini hanya pendapat saya pribadi ya. Kolom komentar masih saya tutup karena masih belum siap menanggung beban mental “harus” menjawab komentar dan balas berkunjung. Kalau ada yang mau didiskusikan feel free untuk kontak saya lewat email: amela.erliana@gmail.com.

Sekian dan terima kasih. 

Akhirnya Update

Oh My God! *pake gaya Janice di serial friends*

ini blog penuh sarang laba-laba gara-gara ga pernah dikunjungi. Sehari-hari di kantor kerjaannya nulis nota dinas sama laporan, sampe rumah uda males banget buka laptop. Udah tepar, energi terkuras karena mesti PP naik KRL yang ga pernah sepi.

Bismillah, moga-moga bisa mulai membiasakan nulis (yang ga ada hubungannya ama kerjaan) lagi. Minimal sebulan sekali. Belum berani pasang target tinggi. Soalnya di kantor ga sempat ngeblog, kalaupun lagi santai otak udah lelah buat nulis. Sampe rumah udah malem dan lelah. Weekend sibuk ngebabu dan quality time ama tuan suamih. Ini emang lagi cari alasan, pembenaran atas target2 yang ga tercapai, dikerjakan pun tidak.

Sempat terpikir buat beneran stop ngeblog, tapi ternyata kangen. Apalagi setelah blogwalking sana sini (walaupun cuma jadi silent reader) dan ngelihat postingan2 keren dari kawan2 semua.

Update berita tentang saya, siapa tahu ada yang penasaran (kepedean):

1. alhamdulilah udah lulus d4 1.5 tahun lalu

2. alhamdulilah ditempatkan di kantor pusat, jadi ga LDM lagi

3.alhamdulillah masih betah berdua sama tuan suamih dan udah ga sensi lagi kalau ada yg tanya kapan hamil.

4. alhamdulillah belum juga pinter masak dan tuan suamih tetap menerima apa adanya

alhamdulillah, alhamdulillah, begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepada saya. dan karena menjelang lebaran, saya dan tuan suamih mengucapkan mohon maaf lahir dan batin..

Tentang Menghargai dan Dihargai

%Catatan: postingan ini cukup panjang dan bernada nyinyir.%

Entah judulnya pas atau ngga. Karena pada dasarnya postingan ini adalah postingan nyinyir saya atas kejadian yang saya alami tadi pagi. Sebenarnya saya menghindari buat posting sesuatu yang bernada nyinyir, tapi kok ya kali ini ga nahan.

Semua berawal saat saya mengunjungi perpustakaan untuk mencari inspirasi topik skripsi. Sudah lama ga maen ke perpustakaan baca, ternyata ada yang berubah. Biasanya untuk masuk ke perpustakaan baca, pengunjung harus mengisi daftar hadir dan menitipkan KTM. Nah, tadi itu tidak saya temukan kotak tempat meletakkan KTM ataupun daftar hadirnya. Jadi saya bertanya kepada mbak-mbak yang jaga di sana.

“Mbak, ini ga perlu ngisi daftar hadir ya?”

Mbak-mbak yang ternyata udah ibu-ibu itu menoleh ke saya dan menjawab “Apa? Oh nanya? Kalau nanya itu bilang permisi Bu gitu.” dengan nada judes.

Saya kaget dong ya. Kok tiba-tiba ibu itu marah-marah ke saya? Karena saya ga bilang permisi gitu? Tapi rasanya saya tadi bertanya dengan nada yang cukup sopan. Atau ibu itu marah karena saya manggil mbak, bukannya ibu? Biasanya yang jaga perpus itu anak SMA yang PKL, dan tadi saya ga liat muka ibunya karena si ibu meghadap komputer, posisinya menyamping dari saya. Makanya saya panggil mbak. Lagipula saya sendiri lebih suka dipanggil mbak daripada ibu.

“Kalau mau masuk ktmnya discan, ke sini.” ibu itu memberi tahu, masih dengan nada judes. Ternyata prosedur masuk perpusnya udah berubah. Saya sih berusaha tetap tersenyum. Mungkin emang saya yang salah karena kata-kata saya menurut ibunya kurang sopan. Dalam hati saya mencatat untuk menyelipkan kata permisi jika bertanya atau hendak memanggil orang yang saya kenal. Saya menyerahkan KTM saya untuk discan.

Eh ternyata omelan ibunya ga berhenti sampai disitu. Sambil mengembalikan KTM, ibunya masih ngomel “Kalau mau tanya itu bilang permisi bu, permisi pak, gitu. Panggil nama! Mau namanya monyet kek, ****** kek (saya lupa hewan apa lagi yang disebut). Saya ini kan pegawai di sini, melayani kalian semua. Yang sopan! Kamu juga paling umurnya cuma berapa.”

Saya langsung tersenyum kecut dong. Dalam hati saya bergumam, saya kan ga tau nama ibuk, makanya tadi saya panggil mbak. Ibuk mau saya panggil monyet? Saya berusaha nahan diri buat ga nyeplos, malas memperpanjang urusan. Berusaha positif thinking, mungkin ibunya ga denger waktu saya panggil mbak, atau emang lagi senewen. Lagipula sedikit banyak saya memang ada salah. Cuma yang tadinya udah mau nerima dan mengaku salah kok jadinya dongkol juga ya dibentak-bentak terus. Apalagi sampai bawa-bawa nama binatang gitu, walaupun bukan untuk memaku rasanya kok ya tetep kurang pantas aja.

Ternyata masih ada jurus pamungkas yang dikeluarkan sang ibu, “Mahasiswa sini itu emang ga punya etika ga tau sopan santun!”

Waduh, saya resmi tersinggung mendengar perkataan ibunya. Sakitnya ga cuma di kuping, tapi di hati. Ga cuma karena saya dibilang ga beretika, tapi juga karena ibunya menggeneralisir mahasiswa kampus saya. Padahal saya tahu banyak teman saya, dan saya sendiri selalu berusaha untuk, bersikap sopan. Kalau ketemu pegawai kampus, mau itu dosen, cleaning service, satpam, atau entah siapa, kami berusaha untuk bersikap ramah. Minimal senyum deh. Kalau berbicara kami juga berusaha dengan kata-kata yang baik. Saya sendiri berusaha membiasakan diri untuk mengucap permisi ketika terpaksa melewati lantai atau jalan yang sedang dibersihkan oleh cleaning service. Tadi memang saya khilaf tidak mengucap permisi, tapi rasanya kata-kata saya sudah cukup sopan dan diucapkan dengan nada sopan.

Yang bikin dongkol ya cara ibunya berbicara menurut saya juga kurang sopan. Kalau sekedar nadanya naik beberapa oktaf sih masih wajar ya, mungkin kebawa emosi. Tapi mbok ya dipilih kata-kata yang pas, ga usah bawa-bawa nama binatang. Lah ini marahin orang karena dianggap ga sopan kok dengan cara yang kurang sopan. Dan kalau disebut tidak beretika dan tidak punya sopan santun kok saya kurang bisa menerima ya, karena saya sudah berusaha semampu saya untuk menjadi manusia yang beretika dan sopan. Ibu kan ga kenal saya, ga tau bagaimana perilaku saya sehari-hari. Lagipula kalau mau membela diri, perkataan saya sudah cukup sopan kok. Selain itu saya kasian sama ribuan mahasiswa lainnya, karena kelalaian saya mereka semua ikut dicap tidak beretika.

Saya berusaha ga memperpanjang masalah. Setelah mengucap terimakasih yang tidak ikhlas dan memaksakan diri tersenyum, saya langsung nyelonong masuk perpustakaan. Walau udah berusaha melupakan kejadian tadi, tapi tetap aja saya ga fokus waktu baca skripsi. Masih berpikir di mana letak kesalahan saya tadi. Katakanlah saya emang salah besar nih. Tapi menurut prinsip pelayanan yang baik, harusnya ya si ibu ga boleh kan marah-marah sebegitunya. Walau baru seumur jagung, saya udah pernah ngerasain kerja di bidang pelayanan. Memang ga seekstrim mbak-mbak teller di bank yang harus selalu tersenyum walau nasabahnya udah keterlaluan, setidaknya saya selalu berusaha tersenyum dan merendahkan nada suara saya saat bicara sama orang yang saya layani. Kadang emang mereka yang salah dan malah ngotot, tapi sebagai pelayan masyarakat ya saya berusaha tetap tersenyum dan menjelaskan sebaik mungkin.

Ah, kalau mikirin ibunya mulu kapan saya dapat ide skripsi. Saya berusaha melupakan kejadian tidak enak itu dan segera membolak-balik skripsi senior yang dipajang di perpustakaan. Hati masih tidak terima sih dibentak-bentak begitu. Cuma ya udah kan, kalau saya jawab ibunya ntar malah tambah ribut

. Pas asik baca, tiba-tiba saya denger keributan lagi. Masih suara ibu yang sama. Kali ini didukung oleh seorang bapak pegawai lama yang menurut saya juga kurang ramah. Kali ini korbannya adalah serombongan mahasiswa baru.

Terdengar si bapak berkata, “Kalau mau masuk itu bilang, Permisi bu, permisi pak saya masuk!” Saya melirik, terlihat si ibu sibuk menyecan KTM para mahasiswa itu satu-persatu. Mahasiswa-mahasiswa baru itu pun menurut mengucap permisi dan terima kasih.

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Bapak dan ibu itu meminta dihormati, tapi tidak menghormati para pengunjung. Apakah karena para pengunjung itu statusnya mahasiswa? Jadi ga perlu disapa dengan ramah dan dikasih senyum gitu? Kalau di kantor saya dulu sih, petugas pelayanan disuruh untuk menerapkan 3S. Senyum, Salam, Sapa. Petugas dianjurkan untuk menyambut pengunjung dengan ramah, menyapa lebih dulu.

Menurut saya sih “nasihat” bapak dan ibu tadi baik. Memang sebaiknya kita selalu bersikap sopan, kepada penjaga perpustakaan yang bertugas menyecan kartu sekalipun. Tapi bukankah ada cara yang lebih baik? Nasihatnya bisa disampaikan dengan nada yang lebih enak didengar, tidak perlu membentak-bentak galak. kalau belum apa-apa udah marah, yang dinasihati udah  jengkel duluan. Dan menurut saya, untuk ukuran mahasiswa yang tentu aja udah bukan anak kecil lagi, kurang pas rasanya menasihati dengan marah-marah dan memaksa gitu. Apalagi kalau ga dibarengi dengan teladan dari yang menasihati. selain itu, kalau dipaksa gitu, sampai kapan akan bertahan? Sesuatu yang dilakukan karena terpaksa kan biasanya ga bertahan lama. Nanti kalau yang jaga bukan bapak/ibu itu lagi ga perlu bersikap sopan gitu? Atau kalau sama orang lain ga perlu bersikap ramah?

Saya teringat, tahun lalu, para mahasiswa baru setiap bertemu dengan pegawai ataupun kakak kelasnya, entah kalau antar mereka, selalu menyapa dengan semangat “Selamat pagi, Kak” “Selamat siang, Kak” Saya kadang malah kaget atau risih, pas lagi asik ngelamun tiba-tiba disapa serombongan maba/miba yang tidak saya kenal. Kalau menurut saya sih, sebenarnya senyuman dan anggukan kepala udah cukup. Sayangnya hal itu cuma bertahan beberapa bulan.

Saya sih merasa bersyukur, ga perlu kaget-kaget lagi kalau papasan di jalan. Toh menurut saya mereka tetap bersikap sopan kok dengan tersenyum dan menganggukkan kepala saat berpapasan dengan saya. Kalaupun ada yang cuek dan melengos aja sih saya juga ga ambil pusing.

Kalau tidak salah, tahun lalu memang ada semacam program saling menyapa di angkatan tersebut. Cuma mungkin kurang meresap kali ya, lebih karena terpaksa atau semacamnya. Makanya setelah beberapa bulan langsung menguap. Sekarang program itu mulai dicanangkan lagi. Saya rasa sih akan lebih sukses karena kali ini aparat kampus juga memberi teladan.

Menurut saya sesuatu yang dicontohkan dan kemudian diteladani akan melekat seumur hidup. Contohnya aja saya nih. Sejak masih pacaran dulu, saya melihat tuan suami untuk tersenyum, menyapa, dan mengucapkan terimakasih. Beliau memang pendiam, tapi ga songong. Makanya saya pun selalu berusaha untuk melakukan hal yang sama. Apa sih susahnya tersenyum dan mengucapkan terima kasih? Ya kan?

Prinsip saya sih berusaha meperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan.

Tentang sopan santun di kampus ini, sebenarnya memang telah dari lama ada omongan bahwa mahasiswa kampus ini sombong2. Makanya saya berusaha keras untuk selalu menyapa dan tersenyum untuk menghilangkan anggapan itu. D Tapi di lain pihak, beberapa teman saya sempat komplen, menurut mereka sekuriti di sini tidak seramah di tempat lain. Memang sih, ada beberapa sekuriti yang kalaupun disapa tetap bermuka masam dan tidak menanggaoi. tapi Ada juga yang ramah dan menyapa dulu sebelum disapa. Jadi sebenarnya sih tergantung pribadi masing-masing. Tidak boleh digeneralisir.

Lebai banget ya saya, masalah kayak gini aja diceritain ampe panjang? habisnya saya itu sangat ga suka disalah-salahkan ketika saya merasa ga salah dan dinasihati oleh orang yang tidak mampu melakukan hal yang dia nasihatkan itu. makanya, bakal kepikiran terus kalau g dimuntahin.

Maaf ya curhatnya kepanjangan. Yah oengalaman tadi jadi pelajaran juga lah buat saya untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Maaf ya curhatnya jadi kepanjangan.