Fiksimini: Broken

Ada yang berderak patah di dadaku ketika kulihat kau bergandengan tangan dengannya.

Kau menyimpan tangan mungilnya dalam genggaman tanganmu. Tangan yang kokoh dengan buku-buku jari yang sedikit kasar. Kokoh dan hangat. Aku masih ingat persis hangatnya genggaman tanganmu. Dan juga wangi tubuhmu saat aku sedikit menyondongkan kepalaku ke bahumu. 

Sebenarnya kabar bahwa kau telah menikah bukan berita baru bagiku. Telah kudengar kabar itu dari teman-temanku, yang sebagian besar juga adalah teman-temanmu. Telah kuintip foto-foto pernikahanmu itu melalui akun media sosialmu. Kupikir aku telah berhasil move on darimu karena nyatanya tak ada air mata yang kutumpahkan untukmu. 

Kukira aku baik-baik saja. Toh dulu akulah yang memilih untuk menolak lamaranmu. Aku jugalah yang memutuskan untuk meninggalkanmu karena tak sanggup melihat kesedihan yang bersembunyi di matamu tiap kali bertemu. Seharusnya, aku tak perlu bersedih karena kau pun akhirnya menikah, dengan wanita yang bukan aku. Seharusnya aku tak perlu cemburu ketika kau menggenggam tangan wanita lain. Wanita yang kini telah menjadi istrimu. 

Kau menuntunnya masuk ke dalam restoran di sudut jalan pattimura. Restoran tempat dulu sering  kita habiskan malam minggu kita. Mungkin kau juga akan mengajaknya duduk di meja favorit kita, di sisi sebelah barat restoran, tempat kita mengamati matahari terbenam dari balik jendela. Tempat aku biasa duduk menghabiskan segelas cappucino saat aku merindukanmu dan ingin mengenang kebersamaan kita.

Ya, nyatanya aku masih sering curi-curi merindukanmu. Berulang kali aku memencet nomor teleponmu namun tak pernah berhasil mengumpulkan keberanian untuk memencet tombol panggil. 

Diam-diam kuselipkan doa agar kita dapat kembali bersama. Agar kau kembali meminangku, atau mungkin aku yang akan to the point memintamu untuk menikah denganku.Bahkan lima tahun terakhir aku terus berusaha memperbaiki diri. Aku  telah mewujudkan sebagian besar mimpi-mimpiku sehingga tak ada lagi alasan bagiku untuk menunda menikah. Aku ikut kursus menjahit, belajar memasak, dan membaca banyak buku rumah tangga. Aku harap jika saat itu tiba aku telah benar-benar siap sehingga tak perlu lagi muncul kecanggungan di antara kita. 

Sayang, Tuhan tak mengabulkan doaku. Dia memilihkan wanita lain sebagai jodohmu. 

Tidak, aku tak menyalahkanmu. Memang tak ada perjanjian di antara kita bahwa di suatu waktu saat kita bertemu lagi kita akan membangun kembali hubungan yang lima tahun lalu telah kurobohkan. Tentu saja aku tak berhak memintamu untuk menungguku. 

Aku menyalakan kembali mesjn mobilku. Sebenarnya aku ingin menikmati terbenamnya mentari dari meja favorit kita karena aku sedang rindu padamu, tapi kuputuskan untuk membatalkan rencanaku itu.

Jika melihatmu dari kejauhan saja mampu membuat hatiku berderak patah, apa jadinya jika aku bertemu denganmu?