Tentang Menghargai dan Dihargai

%Catatan: postingan ini cukup panjang dan bernada nyinyir.%

Entah judulnya pas atau ngga. Karena pada dasarnya postingan ini adalah postingan nyinyir saya atas kejadian yang saya alami tadi pagi. Sebenarnya saya menghindari buat posting sesuatu yang bernada nyinyir, tapi kok ya kali ini ga nahan.

Semua berawal saat saya mengunjungi perpustakaan untuk mencari inspirasi topik skripsi. Sudah lama ga maen ke perpustakaan baca, ternyata ada yang berubah. Biasanya untuk masuk ke perpustakaan baca, pengunjung harus mengisi daftar hadir dan menitipkan KTM. Nah, tadi itu tidak saya temukan kotak tempat meletakkan KTM ataupun daftar hadirnya. Jadi saya bertanya kepada mbak-mbak yang jaga di sana.

“Mbak, ini ga perlu ngisi daftar hadir ya?”

Mbak-mbak yang ternyata udah ibu-ibu itu menoleh ke saya dan menjawab “Apa? Oh nanya? Kalau nanya itu bilang permisi Bu gitu.” dengan nada judes.

Saya kaget dong ya. Kok tiba-tiba ibu itu marah-marah ke saya? Karena saya ga bilang permisi gitu? Tapi rasanya saya tadi bertanya dengan nada yang cukup sopan. Atau ibu itu marah karena saya manggil mbak, bukannya ibu? Biasanya yang jaga perpus itu anak SMA yang PKL, dan tadi saya ga liat muka ibunya karena si ibu meghadap komputer, posisinya menyamping dari saya. Makanya saya panggil mbak. Lagipula saya sendiri lebih suka dipanggil mbak daripada ibu.

“Kalau mau masuk ktmnya discan, ke sini.” ibu itu memberi tahu, masih dengan nada judes. Ternyata prosedur masuk perpusnya udah berubah. Saya sih berusaha tetap tersenyum. Mungkin emang saya yang salah karena kata-kata saya menurut ibunya kurang sopan. Dalam hati saya mencatat untuk menyelipkan kata permisi jika bertanya atau hendak memanggil orang yang saya kenal. Saya menyerahkan KTM saya untuk discan.

Eh ternyata omelan ibunya ga berhenti sampai disitu. Sambil mengembalikan KTM, ibunya masih ngomel “Kalau mau tanya itu bilang permisi bu, permisi pak, gitu. Panggil nama! Mau namanya monyet kek, ****** kek (saya lupa hewan apa lagi yang disebut). Saya ini kan pegawai di sini, melayani kalian semua. Yang sopan! Kamu juga paling umurnya cuma berapa.”

Saya langsung tersenyum kecut dong. Dalam hati saya bergumam, saya kan ga tau nama ibuk, makanya tadi saya panggil mbak. Ibuk mau saya panggil monyet? Saya berusaha nahan diri buat ga nyeplos, malas memperpanjang urusan. Berusaha positif thinking, mungkin ibunya ga denger waktu saya panggil mbak, atau emang lagi senewen. Lagipula sedikit banyak saya memang ada salah. Cuma yang tadinya udah mau nerima dan mengaku salah kok jadinya dongkol juga ya dibentak-bentak terus. Apalagi sampai bawa-bawa nama binatang gitu, walaupun bukan untuk memaku rasanya kok ya tetep kurang pantas aja.

Ternyata masih ada jurus pamungkas yang dikeluarkan sang ibu, “Mahasiswa sini itu emang ga punya etika ga tau sopan santun!”

Waduh, saya resmi tersinggung mendengar perkataan ibunya. Sakitnya ga cuma di kuping, tapi di hati. Ga cuma karena saya dibilang ga beretika, tapi juga karena ibunya menggeneralisir mahasiswa kampus saya. Padahal saya tahu banyak teman saya, dan saya sendiri selalu berusaha untuk, bersikap sopan. Kalau ketemu pegawai kampus, mau itu dosen, cleaning service, satpam, atau entah siapa, kami berusaha untuk bersikap ramah. Minimal senyum deh. Kalau berbicara kami juga berusaha dengan kata-kata yang baik. Saya sendiri berusaha membiasakan diri untuk mengucap permisi ketika terpaksa melewati lantai atau jalan yang sedang dibersihkan oleh cleaning service. Tadi memang saya khilaf tidak mengucap permisi, tapi rasanya kata-kata saya sudah cukup sopan dan diucapkan dengan nada sopan.

Yang bikin dongkol ya cara ibunya berbicara menurut saya juga kurang sopan. Kalau sekedar nadanya naik beberapa oktaf sih masih wajar ya, mungkin kebawa emosi. Tapi mbok ya dipilih kata-kata yang pas, ga usah bawa-bawa nama binatang. Lah ini marahin orang karena dianggap ga sopan kok dengan cara yang kurang sopan. Dan kalau disebut tidak beretika dan tidak punya sopan santun kok saya kurang bisa menerima ya, karena saya sudah berusaha semampu saya untuk menjadi manusia yang beretika dan sopan. Ibu kan ga kenal saya, ga tau bagaimana perilaku saya sehari-hari. Lagipula kalau mau membela diri, perkataan saya sudah cukup sopan kok. Selain itu saya kasian sama ribuan mahasiswa lainnya, karena kelalaian saya mereka semua ikut dicap tidak beretika.

Saya berusaha ga memperpanjang masalah. Setelah mengucap terimakasih yang tidak ikhlas dan memaksakan diri tersenyum, saya langsung nyelonong masuk perpustakaan. Walau udah berusaha melupakan kejadian tadi, tapi tetap aja saya ga fokus waktu baca skripsi. Masih berpikir di mana letak kesalahan saya tadi. Katakanlah saya emang salah besar nih. Tapi menurut prinsip pelayanan yang baik, harusnya ya si ibu ga boleh kan marah-marah sebegitunya. Walau baru seumur jagung, saya udah pernah ngerasain kerja di bidang pelayanan. Memang ga seekstrim mbak-mbak teller di bank yang harus selalu tersenyum walau nasabahnya udah keterlaluan, setidaknya saya selalu berusaha tersenyum dan merendahkan nada suara saya saat bicara sama orang yang saya layani. Kadang emang mereka yang salah dan malah ngotot, tapi sebagai pelayan masyarakat ya saya berusaha tetap tersenyum dan menjelaskan sebaik mungkin.

Ah, kalau mikirin ibunya mulu kapan saya dapat ide skripsi. Saya berusaha melupakan kejadian tidak enak itu dan segera membolak-balik skripsi senior yang dipajang di perpustakaan. Hati masih tidak terima sih dibentak-bentak begitu. Cuma ya udah kan, kalau saya jawab ibunya ntar malah tambah ribut

. Pas asik baca, tiba-tiba saya denger keributan lagi. Masih suara ibu yang sama. Kali ini didukung oleh seorang bapak pegawai lama yang menurut saya juga kurang ramah. Kali ini korbannya adalah serombongan mahasiswa baru.

Terdengar si bapak berkata, “Kalau mau masuk itu bilang, Permisi bu, permisi pak saya masuk!” Saya melirik, terlihat si ibu sibuk menyecan KTM para mahasiswa itu satu-persatu. Mahasiswa-mahasiswa baru itu pun menurut mengucap permisi dan terima kasih.

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala. Bapak dan ibu itu meminta dihormati, tapi tidak menghormati para pengunjung. Apakah karena para pengunjung itu statusnya mahasiswa? Jadi ga perlu disapa dengan ramah dan dikasih senyum gitu? Kalau di kantor saya dulu sih, petugas pelayanan disuruh untuk menerapkan 3S. Senyum, Salam, Sapa. Petugas dianjurkan untuk menyambut pengunjung dengan ramah, menyapa lebih dulu.

Menurut saya sih “nasihat” bapak dan ibu tadi baik. Memang sebaiknya kita selalu bersikap sopan, kepada penjaga perpustakaan yang bertugas menyecan kartu sekalipun. Tapi bukankah ada cara yang lebih baik? Nasihatnya bisa disampaikan dengan nada yang lebih enak didengar, tidak perlu membentak-bentak galak. kalau belum apa-apa udah marah, yang dinasihati udah  jengkel duluan. Dan menurut saya, untuk ukuran mahasiswa yang tentu aja udah bukan anak kecil lagi, kurang pas rasanya menasihati dengan marah-marah dan memaksa gitu. Apalagi kalau ga dibarengi dengan teladan dari yang menasihati. selain itu, kalau dipaksa gitu, sampai kapan akan bertahan? Sesuatu yang dilakukan karena terpaksa kan biasanya ga bertahan lama. Nanti kalau yang jaga bukan bapak/ibu itu lagi ga perlu bersikap sopan gitu? Atau kalau sama orang lain ga perlu bersikap ramah?

Saya teringat, tahun lalu, para mahasiswa baru setiap bertemu dengan pegawai ataupun kakak kelasnya, entah kalau antar mereka, selalu menyapa dengan semangat “Selamat pagi, Kak” “Selamat siang, Kak” Saya kadang malah kaget atau risih, pas lagi asik ngelamun tiba-tiba disapa serombongan maba/miba yang tidak saya kenal. Kalau menurut saya sih, sebenarnya senyuman dan anggukan kepala udah cukup. Sayangnya hal itu cuma bertahan beberapa bulan.

Saya sih merasa bersyukur, ga perlu kaget-kaget lagi kalau papasan di jalan. Toh menurut saya mereka tetap bersikap sopan kok dengan tersenyum dan menganggukkan kepala saat berpapasan dengan saya. Kalaupun ada yang cuek dan melengos aja sih saya juga ga ambil pusing.

Kalau tidak salah, tahun lalu memang ada semacam program saling menyapa di angkatan tersebut. Cuma mungkin kurang meresap kali ya, lebih karena terpaksa atau semacamnya. Makanya setelah beberapa bulan langsung menguap. Sekarang program itu mulai dicanangkan lagi. Saya rasa sih akan lebih sukses karena kali ini aparat kampus juga memberi teladan.

Menurut saya sesuatu yang dicontohkan dan kemudian diteladani akan melekat seumur hidup. Contohnya aja saya nih. Sejak masih pacaran dulu, saya melihat tuan suami untuk tersenyum, menyapa, dan mengucapkan terimakasih. Beliau memang pendiam, tapi ga songong. Makanya saya pun selalu berusaha untuk melakukan hal yang sama. Apa sih susahnya tersenyum dan mengucapkan terima kasih? Ya kan?

Prinsip saya sih berusaha meperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan.

Tentang sopan santun di kampus ini, sebenarnya memang telah dari lama ada omongan bahwa mahasiswa kampus ini sombong2. Makanya saya berusaha keras untuk selalu menyapa dan tersenyum untuk menghilangkan anggapan itu. D Tapi di lain pihak, beberapa teman saya sempat komplen, menurut mereka sekuriti di sini tidak seramah di tempat lain. Memang sih, ada beberapa sekuriti yang kalaupun disapa tetap bermuka masam dan tidak menanggaoi. tapi Ada juga yang ramah dan menyapa dulu sebelum disapa. Jadi sebenarnya sih tergantung pribadi masing-masing. Tidak boleh digeneralisir.

Lebai banget ya saya, masalah kayak gini aja diceritain ampe panjang? habisnya saya itu sangat ga suka disalah-salahkan ketika saya merasa ga salah dan dinasihati oleh orang yang tidak mampu melakukan hal yang dia nasihatkan itu. makanya, bakal kepikiran terus kalau g dimuntahin.

Maaf ya curhatnya kepanjangan. Yah oengalaman tadi jadi pelajaran juga lah buat saya untuk lebih berhati-hati dalam berbicara. Maaf ya curhatnya jadi kepanjangan.

Ujian dibawa pulang ke rumah

Ujian kok dibawa pulang? Iya, istilah gaulnya sih take home test. Semenjak kuliah DIV, udah beberapa kali sebenarnya saya menjalani ujian model begini. Biasanya disuruh buat karya tulis dengan topik yang udah ditentukan. Terdengar gampang? Gampang-gampang susah sih. Take home test saya yang pertama bisa dibilang mission impossible. Disuruh buat makalah 10.000 kata dalam waktu semalam. Jadinya ya begadang, cuma tidur setengah jam (malah temen saya ada yang sampai ga tidur), itupun ga memenuhi target 10.000 kata. Baca lebih lanjut

Anak Rumahan

Saya dan tuan suamih itu punya banyaaaaaak sekali perbedaan. Malah kalau boleh agak ekstrim, sifat kami itu bertolak belakang. Ga perlu lah ya disebutin satu persatu, kayaknya udah sering dicurhatin di sini. Tapi, kami juga punya beberapa persamaan, salah satunya kami itu sama-sama anak rumahan. Hal ini terlihat kalau weekend datang. Kalau dibikin pie chart bakal keliatan kalau kegiatan sabtu-minggu kami banyak dihabiskan untuk leyeh-leyeh di rumah. Bahkan bisa seharian, bener-bener seharian, ga keluar rumah!

Begitu pula saat hari libur datang. Kalau teman yang lain pada sibuk jalan-jalan, kami berdua tetap aja asik di rumah. Paling banter ke carrefour atau lotte mart buat belanja, bener-bener belanja kak, bukan ngemall dan window shopping gitu.

Pas pulang kampung juga gitu, kerjaannya di rumah terus. Udah berapa kali pulang ke jogja, saya belum pernah itu plesir ke keraton, wisata sejarah ke benten vrederburg dan museum2 lain, atau ke parang tritis yang ga jauh dari rumah. Boro-boro melipir ke prambanan atau borobudur, diajakin ke gembiraloka yang sepelemparan batu aja ngga. Palingan ya ke malioboro lagi malioboro lagi, itupun cuma lewat doang.

Sebaliknya kalau pas pulang ke Jember juga sama. Tuan suamih ga saya ajakin maen ke mana-mana, padahal destinasi wisatanya udah lumayan banyak ya, dari pantai, taman nasional, air terjun, atau sekedar taman bermain. Tapi tetep, pulang kampung itu waktunya super leyeh leyeh di rumah.

4403137782547651740

Jadi jangan heran ya kalau kami, walau udah lama tinggal di jakarta coret baru pernah main ke monas ama kota tua. Ke dufan aja saya belum pernah lho. Rencana ke bandung dan KRB pun belum juga terealisasi.

Sebenarnya sih ya, kami bukannya ga suka jalan-jalan. Saya itu suka pingin jalan-jalan, apalagi kalau liat foto teman-teman yang lagi ngetrip kemana deh gitu. Cuma saya suka ga pede kalau jalan2 sendiri, takut nyasar bo. Sementara tuan suamih sebenarnya juga beberapa kali ngetrip bareng temen-temennya. Jadi asal ada yang ngajakin mah dia seneng-seneng aja.

Masalahnya, tiap weekend itu saya suka kasihan ngajak tuan suami jalan-jalan gitu. Tau sendiri kan jalan jakarta itu kayak apa. Lima hari kerja udah berkutat di padatnya jalanan jakarta, masak iya tuan suamih yang lagi leyeh-leyeh melepas penat untuk menghadapi ganasnya jalanan jakarta lagi?

Moga-moga sih kalau tuan suamih udah tugas belajar ntar jadi punya banyak waktu luang buat jalan-jalan. Minimal ke Kebun Raya Bogor deh. Sama dufan. Sama kepulauan seribu. Sama.. ah sudahlah, kebanyakan mau ntar malah ga ada yang terealisasi.

Jadi ngapain aja di rumah mel?

Kalau ga tidur ya ngegame seharian. Hehehe. Bisa betah tuh di rumah dari pagi sampai malam. Persamaan saya dan tuan suami lainnya adalah sama-sama suka ngegame. Tuan suami sukanya maen PES atau football manager. Dulu juga hobi ngedota, tapi sekarang udah ngga. Syukurlah, ngehemat kuota internet. Kalau saya sih suka game-game yang lebih simpel yang bergenre time management, finding object, role playing, gitu deh. Malah kadang kami sampe rebutan hape. Soalnya kan saya ga pake smart phone sementara ipod saya suka ngehang kalau dipake ngegame yang agak berat.

Kalau kamu, suka jalan-jalan ga? Atau anak rumahan juga kayak kami?