Tangan wanita itu bergetar saat membaca surat yang dipegangnya, air mata tiba-tiba meruak , menganak sungai di pipi keriputnya. Penuh haru dia merengkuhku dalam pelukan hangatnya.
“Subhanallah le, emak bener-bener bangga sama kamu. Jadi kapan kamu berangkat?” tanya emak disela isaknya.
“Lusa, mak.”
“Secepat itu?”
Aku mengangguk. Emak termenung beberapa saat, kemudian meraihku dalam pelukannya lagi.
–0–
“Bagaimana? Emakmu curiga?” Lastri memberondongku dengan pertanyaan.
Aku menggeleng.
“Lalu?” matanya berbinar memastikan. Kukeluarkan kalung emas emak dari kantong bajuku. Satu-satunya peninggalan bapak untuk emak, yang dengan teganya kucuri dari lemari baju.
Spontan Lastri memelukku, seolah tidak ada rasa bersalah di hatinya.
“Aku yakin emak akan mengerti kang,”
Aku menatapnya sayu. Ya, aku yakin emak akan mengerti. Tapi tetap saja perasaan bersalah itu tak mau pergi.
–o–
Kutengok bilik tidur emak, kosong. Kuputuskan untuk mengembalikan kalung emak. Itu satu-satunya kenangan dari bapak yang tersisa, tidak tega aku mengambilnya. Sudah kubohongi emak, haruskah juga aku mencuri satu-satunya hartanya. Ah, sungguh durhaka aku ini. Tanpa kusadari wajahku telah banjir air mata.
Perlahan kusentuh dipan emak, ah siapa yang akan merawat jika emak sakit. Sepucuk surat bukan dariku, terlipat rapi di meja kayu samping dipan. Perlahan kubaca lagi surat itu, surat yang kemarin sempat membuat hati emak berbunga-bunga. Belum pernah kulihat emak sebahagia itu, ah andai saja aku benar bisa mewujudkan mimpinya.
Bayangan Lastri berkelebat di pikiranku, ah pasti dia sudah menungguku di perempatan. Tergesa aku meletakkan kalung emak ke tempatnya semula.
Maafkan Iqbal Mak, tapi Iqbal tak punya pilihan lain.
“Kenapa dikembalikan Le? Sudahlah bawa saja, kamu lebih membutuhkan dari emak,” suara emak lembut menyapaku.
Tubuhku serasa membeku, tak berani membalikkan badan dan menatap wajah tulus emak.
“Bawa saja Le. Buat modal kerja, supaya kamu bisa menghidupi istri dan anak-anakmu,” tangan emak membelai rambutku, tidak ada amarah dalam nada bicaranya. Aku langsung jatuh terduduk, berusaha menggapai surga di telapak kakinya. Ah, pantaskah aku?
“Sejak kapan emak tahu?”
“Tetangga sudah mulai ramai membicarakan perut Lastri yang mulai membuncit. Dan walaupun emakmu ini cuma lulusan sekolah dasar, emak bisa membedakan mana surat panggilan kerja yang asli dan mana yang kaubuat sendiri.”
Aku tergugu, dadaku sesak oleh rasa bersalah. Emak mengusap kepalaku dengan penuh cinta.
“Jaga Lastri! Kalau kau sempat jenguklah emakmu ini.”
Harusnya sih ini diposting kemarin, tapi tidak sempat sedangkan draftnya sudah 3/4 jadi.. Maafkeun yang kembali absen di hari ke 6 #15haringeblogFF
Tuh kah… kasih ibu gak ada matinya… 🙂
Semangat, Mel, untuk yang hari #8
Hehe.. padahal aku belum ada ide 😀
SukaSuka
ooh emak
purwati
http://purwatiwidiastuti.wordpress.com
http://purwati-ningyogya.blogspot.com
http://purwatining.multiply.com
SukaSuka
wahhh like this :p
Heheheheh..
Wah aku kok ndak ikut2an ya,
Gatau gimana..
SukaSuka
Wahhhh, keren-keren…
Emaknya baik banget…
SukaSuka
Eits…hebat uy emaknya Iqbal 😀
SukaSuka
kasih ibu memang sepanjang jalan ya 🙂
SukaSuka
sedihhhhhhhh ceritanya 😥
SukaSuka
emaknya patut kita contoh….tapi anaknya jangan ya….
SukaSuka
Aku kagum padamu
Elyamela. Bisa menyentuh hatiku dengan cerita ini… Sungguh ending yang tak terduga…. Mantap kawan!SukaSuka
Wadowwwwww…. dasar pikun Gue… Amela, tolong ganti kata Ely jadi Amela, please…. Aku sering bingung dengan kalian berdua…. Antara dunia pagi dan pagi2buta 😦
SukaSuka
Keren ceritanya Mel!! Bagian akhirnya membuat terharu! 🙂
SukaSuka