Episode Empat Belas: Janji..

sumber: google

Lukisan cendrawasih itu masih anggun bertengger di dinding kamar Denova, menemani Den begadang mengerjakan tugas kuliahnya. Sudah 15 bulan dia dan Dimi tidak pernah bertemu. Saat bang Dam pulang di sela kesibukannya menjadi asisten Dimi, Den tak pernah berani menanyakan kabar atau titip salam pada gadis jenius itu. Walaupun Den sendiri sangat penasaran.

Rindang? Tiga bulan sebelum Den lulus, hubungan mereka lumayan membaik. Rindang tidak lagi berusaha menghindari Denova, tidak pula menunduk pura-pura tidak kenal jika berpapasan. Tapi sejak lulus SMA, Den tak pernah lagi bertemu dengan Rindang. Sepertinya Rindang sudah berhasil melupakan sakit hatinya pada Denova, terbukti dengan status facebooknya yang in a relationship with Faridh Gama Nasution.

Kehidupan terus berputar, lima belas bulan berlalu. Telah banyak yang berubah, tapi tidak dengan perasaan Den pada Dimi.

***

Dimi menekuri buku catatannya, grafik simpang-siur menceritakan perkembangan penelitiannya. Ini sudah musim kelima penelitiannya, dan belum juga sempurna. Benih padi ciptaannya masih belum bisa bertahan melawan serangan hama wereng, juga rentan terhadap jamur patogen.

Dimi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, frustasi. Selepas musim panen ini, dia harus terbang ke Belanda, mempresentasikan perkembangan penelitiannya di depan para petinggi International Society for Plant Biologists. Panen kali ini adalah penentuan apakah ISPB akan terus membiayai penelitian Dimi atau tidak.

Kantuk mulai menyerang Dimi. Dimi beranjak menyeduh kopi, lalu membawa kopinya ke teras. Di bawah taburan bintang bulan Maret, Dimi menyesap kopinya.

“Kamu tahu Dim, ada dua hal selalu bisa bikin aku tersenyum tiap aku melihatnya,” tanya Bagas pada Dimi di suatu malam Januari enam tahun lalu.

“Apa mas?” mata Dimi berbinar selayaknya bintang.

“Yang pertama, jutaan bintang yang bersinar di langit malam.”

“Yang kedua?” tanya Dimi penasaran.

“Rahasia..wekk..” jawab Bagas sambil menjulurkan lidah

Dimi tersenyum simpul. Malam itulah adalah malam dimana benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Dimi. Cinta monyet yang akhir luruh begitu saja oleh rasa kecewa.

Malam ini Dimi merindukan mas Bagasnya. Sejak peristiwa di bukit layang-layang itu (begitu Dimi menamai bukit itu), Bagas tak pernah lagi menghubunginya, bahkan sekedar basa-basi menyapa lewat sms pun tidak. Dimi mengerti, dia juga pernah merasakan patah hati yang sama. Patah hati yang membuatnya berusaha membuang bayang-bayang Bagas dari pikirannya. Dan Dimi berhasil, kini bagi Dimi Bagas adalah kakak lelaki yang tak pernah dia miliki. Dimi merindukan Bagas layaknya seorang adik pada kakaknya, bukan rindu sepasang kekasih. Dan Dimi yakin, kelak Bagas pun akan melupakan patah hatinya, sesuai janjinya.

Lamunan Dimi buyar oleh kehadiran Damian.

“Mau kopi Bang?” tawar Dimi.

Damian menggeleng lemah, “Aku izin pulang ke rumah Dim. Adikku meninggal.”

***

Matahari sembunyi malu di balik mendung yang menggelayut tebal di langit Jakarta. Sebuah sudut di TPU Tanah kusir ramai oleh pelayat, tanda baru saja ada yang dimakamkan.

Dimi menatap iba pada keluarga besar Denova yang baru saja kehilangan satu anggotanya. Damian yang biasanya sekeras batu karang kini terduduk layu di samping makam Diana, saudara kembarnya. Diana meninggal tadi malam, tabrakan beruntun di tol Cipularang saat pulang dari Bandung bersama Denova. Denova sendiri masih dirawat di rumah sakit, gegar otak dan patah kaki.

***

Pelan Dimi membuka pintu tempat Denova dirawat. Denova menoleh sekilas lalu kembali memalingkan muka, dia sedang tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, termasuk Dimi. Dia masih dihantui perasaan bersalah atas meninggalnya Diana, kakak perempuan yang selama ini paling perhatian padanya.

Tanpa permisi Dimi duduk di kursi samping tempat tidur Denova, mengambil koran di meja lalu membacanya seolah tak peduli dengan keadaan Denova. Tidak ada basa-basi.

“Ngapain kamu ke sini Dim?” Den akhirnya membuka mulut.

“Awalnya sih pingin jenguk kamu, tapi sepertinya kamu sedang malas bicara,” jawab Dimi sambil lalu.

“Pasti keluargaku yang menyuruhmu,” tuduh Denova.

“Tidak ada yang menyuruhku. Memangnya salah jika aku ingin menjenguk seorang teman lama yang sedang terbaring lemah di rumah sakit.” Dimi masih sibuk dengan koran di tangannya, pura-pura tak peduli.

“Aku tidak butuh dijenguk,” ketus Denova.

“Aku tahu. Makanya aku tidak jadi berbasa-basi menanyakan kabarmu. Tadi aku terus masuk karena tertarik dengan koran ini, sudah lama aku tidak membaca koran. Ada beritamu di sini.” Dimi menunjukkan kolom yang mewartakan tabrakan beruntun di tol Cipularang kemarin.

Denova melengos. Dimi melanjutkan membaca. Selang beberapa menit, Den gagal mengacuhkan Dimi, dipandanginya gadis yang selama setahun terakhir ini selalu memenuhi pikirannya. Den sangat merindukan Dimi, ingin sekali bertemu dengannya dan menjelaskan semuanya. Tentang perasaannya, tentang cintanya, tentang rasa bersalahnya, tentang semuanya. Tapi saatnya sungguh tidak tepat, pikiran Denova sedang kalut.

“Menurut koran ini, kecelakaan itu bukan karena kesalahanmu. Kalian hanya korban dari sopir truk yang mabuk itu.” Dimi melipat korannya, menatap Denova lekat-lekat.

“Kamu tidak perlu merasa bersalah atas kematian Kak Diana. Umur masing-masing orang sudah ditentukan Den,” suara Dimi mulai melunak.

“Gampang kamu ngomongnya, kamu ga pernah merasakannya sih,”

“Siapa bilang aku ga pernah merasakannya? Kamu pikir aku ga pernah merasa bersalah tiap ngelihat ayahku menatap foto ibuku sambil berurai air mata? Ibuku meninggal saat melahirkanku Den, demi aku. Saat mesti memilih nyawanya sendiri atau aku, dia dengan tegas menyuruh dokter mengutamakan keselamatanku.”

Denova terdiam.

“Ga ada yang bisa menyelamatkan diri dari kematian, Den. Garis hidup masing-masing telah ditentukan. Sebagai yang ditinggalkan, kita hanya bisa mengikhlaskan,” lanjut Dimi.

“Dimi, maaf. Kejadian waktu itu.. Aku ga pernah bermaksud menempatkanmu dalam posisi yang sulit,” kata Den terbata.

Dimi tersenyum, “Itu juga salahku, aku yang sudah memancingmu supaya jatuh cinta. Tapi aku tidak pernah mengira kalau kamu sudah punya pacar Den. Aku benar-benar tidak bermaksud merusak hubunganmu dengan Rindang.”

Den mengerutkan keningnya, tidak mengerti maksud ucapan Dimi.

“Aku sengaja bersikap misterius, cuek, dan lainnya supaya kamu tertarik sama aku. Aku menjadikanmu pelarian dari mas Bagas. Awalnya main-main, tapi selanjutnya semua tidak berjalan sesuai rencana.” Dimi berusaha menerangkan.

Den tidak bisa menguraikan perasaannya saat ini, antara bingung, marah, kecewa, patah hati, semuanya campur aduk jadi satu.

“Awalnya kamu cuma pelarian Den. Tapi setahun terakhir ini, aku ga bisa melupakan kamu. Kemarin waktu Bang Dam bilang adiknya meninggal, aku sempat berpikir itu kamu. Daan…. Dan aku tiba-tiba ngerasa,,. Ah susah dijelaskan. Intinya aku ga pingin kehilangan kamu. Ngebayangin kamu mati, rasanya aku nyesel ga pernah jujur sama kamu, nyesel karena waktu yang aku habisin sama kamu masih dikit banget, nyesel karena belum sempat minta maaf sama kamu,” pipi Dimi memerah, antara malu dan menahan tangis.

“Jadi.. jadi kesimpulannya kamu suka sama aku?” Den bertanya memastikan.

Dimi mengangguk, “Tapi kamu harus sembuh dulu. Nanti sekembalinya aku dari Belanda baru kita bahas lagi.”

Untuk pertama kalinya di hari itu, Den tersenyum, “Kamu janji bakal kembali ke Indonesia? Ga bakal tergoda sama om-om genit di sana?”

Dimi terbahak, “Asal kamu janji bakalan nunggu aku. Ga lucu kalau aku susah-susah balik ke Indonesia buat kamu, ternyata kamunya udah punya pacar.”

Ganjalan yang selama ini membebani hati Den dan Dimi kini telah terangkat. Janji yang harusnya diikrarkan lima tahun lalu kini telah mengikat mereka. Terlambat memang, sudah banyak pihak yang terluka. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?

*Tamat*

26 pemikiran pada “Episode Empat Belas: Janji..

  1. versi empatbelas saya belum ada, ini versi empatbelas benerannya udah nongol -___-
    ini ending apa bukan ya? eh, bukan deh kayaknya 😀
    *nanya sendiri,jawab sendiri*

    Mel. Udah ending kok ini.. emang sengaja dibikin ending terbuka.. *ngeles

    Suka

  2. Amela, perasaan Den pada Dimi.tidak berobah? Mantappp 😛
    komen itu dulu ya … ngantuk nih nungguin dari tadi … hehehe …

    Mel: hahhaha 😉

    Suka

  3. ihiiiy aku jadi yang pertama. iyaa deg2an yampun siapa yang mati. agak jahat sih, cuma lega ternyata bukan Den. babak baru.. happy ni episode14 hihi. jadi seneng bacanya. ayooo mel 15nya jangan lama2. heheeeh

    Mel: Udah ending ki.. ayo bikin ending versi kamu 😀

    Suka

  4. sial.. komentar saya yang jam 6 pagi gak masuk T.T..

    sayang banget ih endingnya mereka bareng lagi.. hahaha

    engga ding, bagus mbak. jenis perfect ending 🙂

    Mel. Jam 6? ga ada nih ham… hehhe, ayo mana ending versi kamu? mana lanjutannya angga dan vetra?

    Suka

  5. Eits…udah keluar versinya Amel, dan kenapa ada om genit segala yaa…pasti pesan sponsor deh qiqiqiqi…

    Tunggu versiku ya Mel *pdhl mah blm tau gmn hahaha*

    Mel: beneran mel tunggu lho teh 😀

    Suka

  6. hahahahaha, awalnya pas Damian bilang “adikku meninggal”, dhe kirain si Den, ee ternyata Diana.. endingnya ngambang Mel, klimaksanya kurang memuaskan.. padahal dhe berharap kamu akan menyuguhkan tulisan terbaik kamu disini.. dhe kan pengamat serial Den dan Dimi, makanya dhe tahu bagaimana karakter tulisan kamu.. 😛

    Mel: hehehe.. emang sengaja dibikin ngambang Dhe, cause a love story never end :0

    Suka

  7. ahhh…saya suka sekali dengan endingnya…
    “Terlambat memang, sudah banyak pihak yang terluka. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?”
    hmmm…bener-bener…. gak bisa mengucapkan apa2…hehehe

    Mel: Makasih kakak 😀

    Suka

  8. Aaaaa akhirnya… kirain bakal bersambung lagi :p
    Okeee, sip. Aku sudah baca semuanya~ ending gimana ya hmmm… pikir2 dulu deh, masih 18 november kan? 😀 😀

    Yoi, masih 3 mingguan lagi 😀

    Suka

  9. hoeee mel,udah lama ga baca,hehe
    wah tamat
    entah sedih ato seneng
    bikin baru lagi mel 😉

    Mel: ayo ikutan kontesnya cil, bikin ending versi kamu sendiri

    Suka

  10. aaah selesaaai *ngerenggangin badan*
    sayang ya mbak, diananya mati 😦 tapi kalo ga gitu den ama diminya ga akan jadian (?)

    mel: hayo, masih ada waktu buat bikin ending versi kamu 😀

    Suka

  11. Heemmm… ending yang bagus,,,
    Baca dari episode 1, membuatku makin penasaran,, dan penasaran. Tapi tak ada penyesalan karena endingnya bagus banget.

    mel: maksih kakak *blushing*

    Suka

Anda Komentar, Saya Senang