Mereka selalu ada

Selalu ada itu bukanlah berarti 24/7 berada di sampingmu. Selalu ada ialah tiap kali kau menengok ruang di hatimu, di situ selalu ada aku.
status Facebook saya 6 September 2011

Sayang, jarak yang membentang jauh antara kita ini benar-benar tahu caranya menyiksa pelan-pelan. Disisipkannya rindu yang berduri-duri di sela hatiku tiap waktu aku mengingatmu. Betapa saat aku butuh kamu di sampingku, dia malah tertawa-tawa mengejek tanpa ampun. Sungguh ingin kumaki-maki saja dia dengan segala makian yang kukenal.

Sayang, buat apa kamu memaki-maki bilangan kilometer yang tertera sunyi di peta? Seberapapun kerasnya kau memaki, tak akan berkurang jarak yang merentang antara kamu dan aku. Tidak usahlah kau pedulikan tawa sinis jarum jam itu kepadamu, acuhkan saja! Jarak dan waktu tak punya kuasa memisahkan kita. Bukankah selalu kau temukan aku di dalam hatimu?

Hidup merantau itu tidak mudah Bung! Apalagi ke tempat di mana batas antara pendatang dan penduduk asli tertera jelas. Hampir empat tahun (kurang dikit) saya merantau ke ibukota, tapi tantangannya tidak mampu menandingi empat bulan (kurang dikit) yang saya lewati di sini. Bukan karena perbedaan budaya juga sih, pas kuliah saya punya temen dari berbagai suku dan daerah, dan semuanya fine-fine aja. Mungkin yang bikin berat adalah rasa asing, kalau waktu kuliah dulu kan banyak banget temannya dan mayoritas sepemahaman, punya pandangan ke depan yang sejajar lah. Banyak temen ngobrol, diskusi, curhat. Entahlah, mungkin karena sampai sekarang pun saya belum benar-benar bisa menjadi apa adanya saya. Masih membaca situasi, menakar sampai batas mana kegilaan saya bisa dikeluarkan. Mungkin sayanya yang belum bisa melepas kehidupan penuh spontanitas. Saya masih menyusun batu bata untuk membangun rumah yang nyaman di kota asing ini.” />

Ah, benar-benar kangen dengan teman-teman kuliah saya, yang bisa diajak tereak bareng pas latihan teater malem-malem, yang bisa diajak bercanda saat nonton bola di lapangan Stantiago berdebu, yang bisa diajak nyanyi-nyanyi cempreng tengah malem dikosan, yang bisa diajak seru-seruan bareng ke Bintaro Plaza. Sebagian besar diri saya masih pingin menggenggam erat masa-masa itu. Rutinitas ini telah membuat saya merasa kehilangan. Senin-Jumat yang membosankan, Sabtu-Minggu yang terlalu singkat. Saya jadi terlalu terpaku pada waktu-waktu yang hilang hingga lalai memanfaatkan waktu yang tersisa. Beda banget sama zamannya saya masih mahasiswi, semuanya terlalu cepat berlalu. Tiap harinya begitu menggebu-gebu menjalani sesuatu yang baru. Beda banget, dan bikin rindu.

Benar-benar kangen sama keluarga saya di rumah. Betapa adik-adik saya tumbuh sangat cepat, dan tanpa saya sadari orang tua saya makin tua. Tiga Tahun setengah terlena dengan kehidupan kota metropolitan, membuat saya tidak menyadari bahwa waktu benar-benar berputar cepat. Tapi setidaknya dulu saya masih bisa sering pulang, banyak libur panjang yang bisa dimanfaatkan. Sekarang? Selain karena jarak dan biaya, saya juga tidak bisa seenaknya tidak masuk kerja. Ga bisa sering-sering menengok rumah tempat saya dibesarkan.

Tiba-tiba saya kehilangan seni menikmati waktu, yang saya inginkan malah memutarnya cepat-cepat seolah-olah apa yang saya jalani sekarang adalah penderitaan panjang. Berlebihan! Memang. Saya benar-benar lalai mensyukuri waktu-waktu yang bergulir, semuanya lewat begitu saja tanpa permisi. Hingga akhirnya seseorang yang di ujung sana, yang selalu kebagian peran mendengar keluhan-keluhan saya menyadarkan bahwa berdamai dengan waktu akan membuat perjalanan ini lebih mudah, jauh lebih mudah. Nrimo, menerima, akan membuat kita lebih mudah menjalaninya. Dengan kata-katanya yang sangat hemat, dia mengokohkan kehadirannya buat saya. Dan akhirnya saya sadar, jarak bolehlah merentang jauh, tapi dia yang di sana selalu ada buat saya. Tak terlihat mata memang, tapi jauh di dalam hati saya tahu dia selalu ada, sekedar tahu.

Begitu pun keluarga saya. Sudah empat tahunan saya bukan lagi penghuni tetap di rumah saya, tapi mereka selalu membuka tangan lebar-lebar menyambut saya pulang. Dan bukankah di awal masa kuliah saya juga merasakan rindu berdecit-decit di hati saya pada mereka? Lalu waktu membuat saya terbiasa, membuat mereka terbiasa. Saya sampai di sebuah kesadaran bahwa mereka selalu ada menjadi bagian dari diri saya. Dan saya pun menikmati setiap detik yang saya habiskan di Jakarta, yang akhirnya malah membuat saya rindu setengah mati dengan kota itu dan orang-orangnya. Itu terjadi karena saya menerima, saya berdamai dengan waktu. Hingga sang waktu pun bergulir cepat tanpa terasa, tak membosankan dan jenuh lagi.

Life must go on, ga bisa mandek di satu tempat. Sekarang saya di sini, dengan berbagai tanggung jawab yang harus dipikul. Masih berusaha menemukan cara untuk menyambut gembira hari kerja. Mengusir rasa malas yang menderu-deru tiap kali weekend beranjak pergi. Mengorek cara untuk mengemas masa kuliah di sudut-sudut hati, merekam pantulan teman-teman saya sebaik mungkin agar saya dapat kembali merasakan keberadaan mereka.

Jauh di dalam rongga dada, ada sebuah ruang tempat pantulan orang-orang terdekat saya terekam sempurna, itulah yang harus saya jaga baik-baik. Mereka yang selalu ada untuk saya, yang doa-doa sunyinya tak henti terpanjat untuk saya. Jangan sampai rutinitas membosankan ini juga merenggut keberadaan mereka dalam diri saya.

Masih cukup panjang waktu yang harus ditempuh sampai saya benar-benar bisa bersama mereka. Secara nyata. Percuma kalau saya mengisi perjalanan panjang ini dengan keluhan-keluhan tak berujung. Itu niat saya. Tapi kadang realisasinya jauh lebih sulit dari sekedar mengucapkan. Menerima, mungkin itulah langkah pertama yang saya ambil.

17 pemikiran pada “Mereka selalu ada

  1. yup hidup merantau dan harus long distance ama keluarga itu emang susah… tapi ya mau gimana lagi ya…
    untungnya sih sekarang udah jaman ada internet ya… kalo kudu surat2an kan lebih menyedihkan. ehhe

    Mel: Iya, dan sudah ada telepon. Ga kebayang kalau mesti nunggu pak pos datang cuma buat bertukar kabar

    Suka

  2. yepp… kayaknya itu berlaku buat kita semua deh,,,yang jauuuuuh di rantau sana.

    Selalu sedih kalo inget temen2 yang tersebar jauh2 di ujung barat sampe ujung timur. Sedih kalo tiba ada gempa atau kerusuhan di suatu tempat karena tau ada teman yang tinggal di sana.
    Saya bakal lebih sedih lagi kalo ada dari kita yg putus asa dan mulai mengutuki keadaan.
    and you know what? Semangat temen2 itu semacem doping buat saya. Kalian aja mampu dan semangat, masa saya loyo.
    Still, galau-time is much allowed..literally.. Kita butuh bergalau-galau. *ngakak

    Saya bosen setengah mati waktu magang, tapi it’s always fine. Soalnya saya udah bisa menebak keadaan saya waktu sudah penempatan. Pasti bakal kangen suasana magang dst. Tetep suasana kuliah itu tak tergantikan.

    nothing good lasts forever, so does bad thing.
    sabar dan percaya.
    InsyaAllah selalu ada jalan.

    Mel: Heem, bener ki.. Galau itu perlu, karena dengan Galau kita banyak merenung.. Mungkin sekarang kita ngerasa bosan dan ga sabar dimutasi pulang, tapi suatu saat nanti, tidak menutup kemungkinan kita akan menuliskan kerinduan saat-saat ini.. Terus Semangat Ki!

    Suka

  3. Saya berkaca-kaca mel baca ini :’)
    Selamat belajar menjadi dewasa yah. Kamu pasti bisa 😀

    Mel: Iyaaa, makasih ya dek Ari 😀

    Suka

  4. semua kehidupan pasti akan perlu pengorbanan, dan tetaplah semangat karena masa depan kita pasti akan jauh lebih baik dari sekarang. Dimana semua mimpi-mimpi kita akan terwujud…

    Salam…

    Mel: Iya!! Harus Tetap Semangat! Merdeka!

    Suka

  5. Sepertinya, saya juga merasa begitu. Jauh dari keluarga membuat waktu bergerak statis dan cenderung membosankan. Bedanya, saya masih belum mau hanya menerima 🙂

    Mel: Eh, yang sekarang merantau ke kota orang.. mumpung masih bisa, sering2 pulang geng

    Suka

  6. derita perantau dan hidup LDR….
    senasib kita mel… saya juga rindu masa kuliah… kumpul di akang atau mamat PJMI, makan di warung sunda yg murah meriah, nonton bioskop milih film midnite di Bintaro Plaza…
    berada di perantauan memang begitu perasaannya, saya juga pernah merasakan saat-saat dimana sangat down saat lagi menjalani tugas, tapi kalo wanita lebih melankolis yah…

    tetep semangat yah…kita gak akan selamanya kok dirantau… hehehehe

    Mel: Hohoho, iya mas.. kampus STAN dengan segala pernak-perniknya emang ngangenin pol.. hahah

    Suka

  7. mel – tulisanmu, bagus sekali, jelas terungkap apa yg sedang dirasakan … 😉

    saya juga merasakan hal itu – sebagai ‘perantau – berani meninggalkan kampung halaman demi masa depan yang lebih baik. 😉
    aneka rasa kta ‘nikmati di negeri orang, rindu kampung, ortu, sodara dan teman sejawat terkasih coz istimewa si-dia tercinta. 😀
    beda antara kita – kamu ‘perantau istimewa, ke kampung orang karena tugas … niceee …

    Mel: haduh, dipuji2 gini pipi saya jadi bersemu nih 😳
    benar mas, demi masa depan yang lebih baik kita harus tetap semangat menjalani kehidupan di tanah orang 😀

    Suka

  8. huwaaaaaa…… perantauan jg ya… sama Mel….. sama yg kurasakan. tp bikin enjoy aja. n alhmdlh, dimanapun itu, sy bs survive. termasuk tingkh orang2 asing yg “ajib” bagi sy. hehhe…. walo kadang2 smpt “menyayat”. hehee… kamu pasti bisa Mel !!! semangat!!!!
    ^^sambil tengak-tengok, cerbungnya mana ya…………….^^

    Mel: Iya, kalau dinikmati lika-likunya insyaAllah bisa survive.. cerbungnya masih digodok mbak *ngeles*

    Suka

  9. pernah juga saya merasakannya. merantau ke Jogja karena bukan asli orang jawa murni, menjadikan lebih sulit untuk merasa seperti dirumah sendiri. hampir 4 tahun, tapi masih mengalami kesulitan mengatasi rasa jenuh. hehe. tapi disyukuri saja, daripada batin tersiksa.

    Mel: Iya, dengan bersyukur hidup itu lebih indah,. asli mana mas?

    Suka

  10. Alhamdulillah diriku lahir dan besar di kota tempat kutinggal saat ini 😀
    Sama sekali belum pernah merasakan yang namanya merantau 🙂
    Yup… kerinduan akan selalu dapat terobati, karena kau tahu, mereka selalu ada 🙂

    Mel: Iya mbak.. 🙂 dulu waktu zama SMA pingin banget kuliah di luar kota biar ngerasain yang namanya mandiri, sekarang pingin banget balik ke kampung halaman.. Manusia emang banyak maunya, ga pernah ngerasa puas

    Suka

  11. jauh dari mereka yang disayang itu kadang menyiksa, tapi juga bikin kita belajar dewasa 😉

    Mel: heem, saya ngerasa banget kok kalau sekarang saya jadi lebih err. dewasa kalau mikir

    Suka

  12. Klo saya dulu lahirnya di Denpasar, belum cukup sebulan udah pindah ke Banjarmasin, pas umur 3 tahun pindah ke Makassar, umur 7 tahun pindah lagi ke Ambon, terus balik lagi ke Makassar (curhat ya, mama rani?)..dulu sekeluarga ya tinggalnya di Makassar meski kampung halaman kita di Mataram (Lombok,NTB), ehh..sekarang malah tinggal saya (beserta suami n anak) dan seorang saudara yg masih di Makassar. Ortu dan saudara2 yg lain tinggalnya di Mataram.

    Kemarin pas idul fitri kita semua ngumpul di Makassar, jadi kangennya sempat terobati lah. Hiks, tapi sebentar aja.. soalnya mereka pada balik lagi ke Mataram 😦

    BTW, komen saya agak panjangan ya kali ini? hehehe

    Mel: Wah, ternyata asli Mataram toh mbak? Tapi kan Mbak Tutut udah ada Rani dan Paparani yang nemenin.. hohohoho..

    Suka

  13. imajinasi kita akan hal2 yang telah berlalu akan terus hinggap di memori kita…..baik-buruk atau susah-senangya memang menjadi cerita tersendiri buat kita yang terkadang juga membuat kita menangis, tertawa, senyum….dan bahkan manyun…..!
    ok Amel……sorry ya….tiba2 koch saya jadi bijak begini yach…..hehehe

    Mel: Lha, malah bagus toh kalau jadi bijak 😀

    Suka

  14. Ping balik: Ketika Jim Carrey Bangun Pagi-pagi « Dunia Jungkir Balik

Anda Komentar, Saya Senang